Pages

Sabtu, 18 Mei 2019

Wali Nikah dalam Hukum Islam


Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا نكاح إلا بولي
tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
dan juga hadits:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل. فنكاحها باطل. فنكاحها باطل
Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal” (HR. Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh As Suyuthi dan Al Albani)
Dan urutan yang paling berhak menjadi wali untuk menikahkan seorang wanita adalah ayahnya, lalu kakeknya, lalu anaknya, lalu saudara kandung, lalu paman dari bapak, lalu lelaki yang paling dekat jalur kekerabatannya setelah paman, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. Sebagian ulama ada yang lebih mengutamakan anak lelaki yang sudah baligh dari seorang wanita, daripada ayahnya untuk menjadi wali

Pada UU Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

berdasarkan pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi:
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Jika Melihat ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa jika memang seseorang itu telah mencapai usia 21 tahun atau lebih, maka orang tersebut tidak perlu izin orang tua.
perkawinan dalam Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya perkawinan menurut hukum Islam yakni harus ada:
1.    Calon suami;
2.    Calon istri;
3.    Wali nikah;
4.    Dua orang saksi dan;
5.    Ijab dan qabul.

Dalam perkawinan, adanya wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.
Dalam Hukum Islam, jika memang ayah sebagai wali yang semestinya menikahkan tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, masih ada wali nasab lainnya di samping ayah. Hal ini karena ada wali nasab yang wajib didahulukan.
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Kelompok tersebut yakni:

1)    Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan  
       seterusnya.
2)    Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan 
       keturunan laki-laki mereka.
3)    Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan 
       keturunan laki-laki mereka.
4)    Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan 
       keturunan laki-laki mereka.

Oleh karena itu, jika Anda beragama Islam, Anda dapat meminta wali nasab di atas (di samping ayah Anda) untuk menikahkan Anda.

Sumber :


2.      https://www.google.co.id/search?safe=strict&source=hp&ei=XEzgXKiAC4O6vwTa9ILAAw&q=syarat+sahnya+menikah+seorang+anak+perempuan+dalam+hukum+islam&oq=syarat+sahnya+menikah+seorang+anak+perempuan+dalam+hukum+islam&gs_l=psy-ab.12..33i10.523.20027..20420...1.0..1.1544.25491.2-3j7j5j7j6j8j1....2..0....1..gws-wiz.....0..0i131j0j0i10j0i22i10i30j0i22i30j33i22i29i30j33i160j33i10i160j33i10i21j33i21.NhFcLv_cev8

Senin, 25 Maret 2019

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam


Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Hak Asasi Manusia dikenal di berbagai agama samawi meskipun dengan istilah yang berbeda, tidak terkecuali Islam. Islam sangat menjunjung tinggi hak asasi setiap manusia, meskipun di dalam praktiknya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mencolok antara HAM menurut Islam dan HAM menurut Barat. Perbedaan itu kadangkala menjadi polemik dan menjadi bahan untuk menyerang umat Islam. Kendati dalam kenyataannya perbedaan itu bukanlah sebuah masalah yang besar, karena Islam di dalam kitab sucinya dengan jelas menghormati hak asasi manusia.

Konsep HAM dalam Islam

Terdapat perbedaan mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh dunia Internasional. HAM dalam Islam didasarkan pada aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sementara dunia Barat percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi untuk tercapainya aturan-aturan pblik yang aman dan perdamaian universal. Perbedaan lain yang mendasar juga terlihat dari cara memandang HAM itu sendiri. Di Barat perhatian kepada  individu-individu dari pandangan yang bersifat anthroposentris, di mana manusia merupakan ukuran terhadap gejala sesuatu. Sedangkan dalam Islam, menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya.
Berdasarkan pandangan yang bersiifat anthroposentris tersebut maka nilai-nilai utama dari kebudayan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan terhadap manusia. Berbeda keadaannya pada dunia Islam yang bersifat theosentris, larangan dan perintah lebih didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Al-Quran menjadi  transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia diperintahkan untuk hidup dan bekerja dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada kehendak Allah. Oleh karena itu mengakui hak-hak natar manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya.
Dalam perspektif Barat manusia ditempakan dalam suatu setting di mana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak asasi manusia dinilai hanya sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Sementara HAM dalam perspektif Islam dianggap dan diyakini sebagai anugerah dari Tuhan dan oleh karenanya setiap individu akan merasa bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, penegakan HAM dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada aturan-aturan yang bersifat legal-formal saja tetapi juga kepada hukum-hukum moral dan akhlaqul karimah.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di dalam masyarakat, Islam mempunyai ajaran yang disebut amar ma’ruf nahi munkar . Islam mengajarkan tiga tahapan dalam menjalankan ajaran tersebut: (1) melalui tangan (kekuasaan), (2) melalui lisan (nasihat), (3) melalui gerak hati nurani, yaitu membenci kemungkaran sambil mendoakan agar pelakunya sadar. Sehingga untuk mengatasi mengatasi terjadinya pelanggaran HAM, Islam tidak hanya melakukan tindakan represif teatapi lebih menekankan tindakan preventif. Sebab, tindakan represif cenderung berpijak hanya pada hukum legal-formal yang mengandalkan bukti-bukti yang bersifat material semata. Sedangkan tindakan preventif tidak memerlukan adanya bukti secara hukum.
Perbedaan antara HAM Barat dan Islam
No.
HAM Universal Declaration of Human Rights
HAM menurut Islam
1.
Bersumber pada pemikiran filosofi semata.
Bersumber pada ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.
2.
Bersifat antrophosentris.
Bersifat Theosentris.
3.
Lebih mementingkan hak daripada kewajiban.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4.
Lebih bersifat individualistik.
Kepentingan sosial diperhatikan.
5.
Manusia dilihat sebagai pemilik sepenuhnya hak-hak dasar.
Manusia dilihat sebagai makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh Tuhan, dan oleh karena itu mereka wajib mensyukuri dan memeliharanya.

Hak Asasi Manusia di dalam al-Quran

Tidak diragukan lagi bahwa al-Quran memberikan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk, dan pembeda di antara yang hak dan bathil. Manusia dipilih untuk mengemban amanah Allah di bumi, kepadanya Allah amanatkan berbagai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan reformasi dan mencegah macam tindakan pengrusakan. Untuk terlaksananya tugas dan tanggung jawab dalam misinya sebagai khalifah, kepadanya Allah memberikan sejumlah hak yang harus dipelihara dan dihormat. Hak-hak itu bersifat sangat mendasar, dan diberikan langsung oleh Allah sejak kehadirannya di muka bumi.
Berikut  beberapa  hak-hak asasi yang terdapat dalam al-Qur’an:
  1. Hak untuk Hidup
Hak yang pertama kali dianugerahkan Islam di antara HAM lainny adalah hak untuk hidup dan menghargai hidup manusia. Islam memberikan jaminan sepenuhnya bagi etiap manusia, kecuali tentu saja jika ada alasan yang dibenearkan. Prinsip tentang hak hidup tertuang dalam dua ayat al-Quran:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (Q.S Al-Isra’:33)
“Dan Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.” (al-An’am: 151)
Dua ayat di atas membedakan dengan jelas antara pembunuhan yang bersifat kriminal, dengan pembunuhan untuk menegakkan keadilan. Untuk menegakkan keadlian hanya pengadilan yang berwenang saja yang berhak memutuskan apakah seseorang harus kehilangan haknya untuk hidup atau tidak. Oleh karena itu haruslah berlaku prinsip peradilan yan gjujur dan tidak memihak.
  1. Hak Kepemilikan Pribadi
Berkaitan dengan kepemilikan pribadi ini Islam sangat mengharagai hak-hak kepemillikan pribadi seseorang. hal ini tercermin dari adanya persyaratan hak milik untuk kewajiban zakat dan pewarisan. Seseorang juga diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan, jika ia mati ketika membela dan mempertahankan hak miliknya itu maka ia dipandang sebai syahid.
Salah satu ayat al-Quran yang menjelaskan tentang pentingnya hak milik terdapat pada Q.S. an-Nisaa ayat 29 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.
Ayat tersebut mengingatkan agar dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan orang lain. Dengan kata lain, ia harus menempuh cara yang halal dan bukan melalui cara yang haram.
  1. Persamaan Hak dalam Hukum
Agama Islam menekankan persamaan seluruh umat manusia di mata Allah, yang menciptakan manusia dari asal yang sama dan kepadaNya semua harus taat dan patuh. Islam tidak mengakui adanya hak istimewa yang berdasarkan kelahiran, kebangsaan, ataupun halangan buatan lainnya yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Kemuliaan itu terletak pada amal kebajikan itu sendiri.
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari sesorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai di antara kamu di sisi Allah ialah orang orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujarat: 13)
Agama Islam menganggap bahwa semua manusia itu sama dan merupakan anak keturunan dari nenek moyang sama. Dalam Haji wada’nya, Nabi mendeklarasikan hal tersebut bahwa “Orang Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang non-Arab, begitu juga orang non-Arab tidak mempunyai keunggulan atas orang Arab.demikian juga orang kulit putih tidak memiliki keunggulan atas orang kulit hitam dan sebaliknya. Semua adalah anak keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah liat” Agama Islam telah menhancurkan diskriminasi terhadap kasta, kepercayaan, perbedaan warna kulit, dan agama. Rasulullah tidak hanya secara lisan menegakkan hak persamaan ini, namun juga telah memperhatikan pelaksanaanya selama beliau hidup.
  1. Hak Mendapatkan Keadilan
Hak mendapatkan keadilan merupakan suatu hak yang sangat penting di mana agama Islam telah menganugerahkannya kepada setiap umat manusia. Sesungguhnya agama Islam telah datang ke dunia ini untuk menegakkan keadilan, sebagaimana al-Quran menyatakan:
“Dan Aku perintahkan supaya berlaku adil di antara kamu” (Q.S Asy-Syura: 15)
Umat Islam diperintahkan supaya menjungjung tinggi keadilan meskipun kepentingan mereka sendiri dalam keadaan bahaya
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadlilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahun kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jikakamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa: 135).
  1. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan
Salah satu dari hak asasi yang terpenting adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Tidak seorangpun dapat dibatasi haknya untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan dan pendidikan, sepanjang ia memenuhi kualifikasi untuk itu. Ajaran Islam tidak saja menegakkan sendi kemerdekaan belajar, lebih dari itu Islam mewajibkan semua orang Islam untuk belajar.
Pentingnya pendidikan dan pengetahuan tertuang dalam surat at-Taubah ayat 122:
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, sehingga mereka waspada.”
Landasan ayat lain yang meninggikan pentingnya pendidikan ada di dalam surat al-Mujadilah ayat 11, yang memiliki arti:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Sumber :

1.  Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Diniyah.
2.  Maulana, Makhrur Adam. 2015. Konsepsi HAM dalam Islam: Antara Universalitas dan    
     Partikularitas. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
3.  Mulia, Siti Musdah. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Naufan Pustaka.
4.  Syaukat, Syekh. 1996. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
5.  https://wawasansejarah.com/hak-asasi-manusia-dalam-perspektif-islam/

Makan Daging Babi tapi Tidak mengetahui kalau itu Babi


Pertanyaan anda adalah:
Apakah hukum nya haram apa bila memakan babi tapi kita tidak tau kalo itu babi

Pada dasarnya, jika memang kita benar-benar tidak mengetahuinya bahwa yang kita makan itu adalah "daging Babi" maka tidaklah berdosa, namun Allah Ta’ala Maha Bijaksana dan disucikan dari kezaliman. 

Diantara kebijaksanaan Allah adalah Ia tidak menghukum kesalahan yang dilakukan karena tidak tahu, lupa atau tidak sengaja. Ia berfirman:
 
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

      “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat  
      pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang       
     dikerjakannya. (Orang-orang beriman berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami 
     jika kami lupa atau kami tersalah”” (QS. Al Baqarah: 286).

Dan doa orang-orang beriman ini telah dijawab oleh Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya:

فأنزلَ اللَّهُ تعالى: لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا قالَ: قَد فعلتُ

      “Allah menurunkan ayat ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
      kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat 
     siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Orang-orang beriman berdoa): “Ya Tuhan kami,
     janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah’, lalu Allah berfirman: ‘telah
     aku kabulkan‘” (HR. Muslim no. 126).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

        “Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau 
        karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam 
        Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Maka perbuatan yang hukumnya haram ketika dilakukan karena murni tidak tahu, murni tidak sengaja atau murni lupa tidak terhitung sebagai dosa di sisi Allah. Maka untuk hal tersebut ia tidak dituntut untuk bertaubat, karena tuntutan bertaubat itu terkait dengan dosa.

Makan daging babi karena tidak tahu

Daging babi sudah jelas keharamannya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

        “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang 
        yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” (QS. Al Baqarah: 173).

Namun jika makan daging babi karena sebab tertentu yang diizinkan oleh syariat atau dimaafkan oleh syariat maka tidak ada dosa bagi pemakannya. Oleh karena itu lanjutan ayat ini:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

           “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak        
           menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. 
          Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173).

Dalam keadaan darurat semisal sangat lapar dan tidak ada makanan lain selain daging babi, maka ketika itu syariat mengizinkan dengan syarat tidak boleh berlebihan sekedar bisa mencegahnya dari kematian. Dan dalam ayat ini dikatakan ‘tidak ada dosa baginya‘. 

Demikian juga jika makan daging babi karena sebab yang dimaafkan oleh syariat yaitu karena tidak tahu, tidak sengaja atau lupa.

Dalam ayat ini juga Allah tidak menuntut pemakan daging bagi karena darurat itu untuk bertaubat, padahal daging babi masuk ke perutnya, namun itu karena sebab yang dimaafkan dan diizinkan oleh syariat. Bahkan Allah tegaskan dengan dua penegasan: ‘tidak ada dosa baginya‘ dan ‘Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: “jika seseorang makan daging babi karena tidak tahu, apakah ada kafarahnya? Jika ada apakah kafarahnya?”.

Syaikh menjawab:
ليس عليه شيء ما دام لا يعلم، ليس عليه شيء، إنما عليه أن يتمضمض ويغسل فمه من آثار النجاسة ويغسل يديه، والحمد لله. لكن إذا لم يتمضمض أو لم يذكر لحم خنزير إلا بعد حين ماذا يفعل؟ ج/ ما عليه شيء

        “Tidak ada kewajiban apa-apa baginya, selama ia memakannya karena tidak tahu sedikit pun. 
       Yang perlu ia lakukan adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis
       (daging babi) dan mencuci tangannya. Walhamdulillah

Namun jika memakannya pada waktu yang sudah berlalu lama sekali dan ia ketika itu tidak berkumur-kumur, apa yang perlu dilakukan? Jawabnya: tidak perlu melakukan apa-apa” 

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Wal Ifta juga ditanya: “seseorang makan daging babi dalam keadaan tidak tahu. Lalu setelah ia selesai makan, datang orang lain yang mengatakan bahwa yang dimakan itu daging babi. 

Dan daging bagi sebagaimana kita ketahui, hukumnya haram bagi seorang Muslim. Apa yang mesti ia lakukan?”

Mereka menjawab:
لا يلزمه شيء تجاه ذلك ولا حرج عليه؛ لكونه لا يعلم أنه لحم خنزير، وإنما يلزمه التحري والحذر في المستقبل‏

         “Tidak ada kewajiban apa-apa baginya, dan itu tidak masalah. Karena ia tidak tahu yang 
        dimakan adalah daging babi. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa 
        depan” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah jilid 4, no. 7290‏ pertanyaan ke-5).

Demikian, maka jelaslah orang yang makan daging babi karena tidak tahu tidak dituntut untuk bertaubat atas perbuatan tersebut. Ia juga tidak dituntut untuk memuntahkan isi perutnya atau tuntutan yang lainnya. Tidak ada kewajiban apa-apa baginya ketika ia baru mengetahui yang sudah ia makan adalah daging babi. Hendaknya kita jauhi sikap berlebih-lebihan dalam beragama.


2.         https://www.islampos.com/makan-daging-babi-karena-tak-tahu-apa-hukumnya-36427/
3.         https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-islam-tidak-sengaja-makan-babi