Oleh:
Irdanuraprida, Idris, SH, MH
Jenis-jenis Riba
Jenis-Jenis Riba, terdiri dari 2 (dua) bagian, yakni:
1. Riba Hutang piutang
2. Riba Jual Beli
Riba Hutang Piutang, terdiri dari
a. Riba Qard
b. Riba Jahiliyyah
Riba Jual Beli, terdiri dari:
a. Riba Fadhl
b. Riba Nasi’ah
Riba Qard
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan
Riba Fadhl
Pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar / takarn yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis “barang ribawi”
Riba Nasi’ah
Penanggungan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya
Jenis “Barang Ribawi”
Menurut sebagian cendekiawan fiqh Islam, diantarannya mazhab Syafi’i jenis barang ribawi,
yakni:
- Mata uang emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
- Bahan makanan pokok, seperti : beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan, seperti : sayur-
sayuran, buah-buahan, dan lain-lain.
Rules of Games dalam barang jenis Ribawi
Jual beli antara barang-barang ribawi yang sejenis hendaklah sama jumlah dan kadarnya serta diserahkan pada saat jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,- dengan Rp. 5.000,- dan diserahkan pada saat transaksi. Atau dengan kata lain transaksi dilakukan bersamaan dengan delivery.
Jual beli antar barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan untuk berbeda dalam jumlah atau kadanya dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 2.000,- dengan 1 dollar Amerika.
Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan persamaan dalam jumlah maupun penyerahan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak atau kertas) dengan pakaian.
Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa syarat persamaan dan maupun penyerahan diserahkan pada waktu akad misalnya pakaian dengan barang elektronik
Jaminan Bank Islam untuk umat Non Muslim
- Riba bukan saja dilarang oleh Islam, tetapi juga dilarang oleh agama-agama samawi, setidaknya itulah yang
ditulis dalam Taurat dan Injil.
- Dalam Perjanjian Lama, larangan riba dapat diketahui dari Leviticus 25:37, Deutronomy 23:19, Exodus
25:25, dan dalam Perjanjian Baru, dalam Luke 6:35
- Sampai dengan abad ke 13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja atau
Hukum Canon. Namun, pada akhir abad ke-13 pengaruh Gereja Ortodoks mulai melemah dan orang mulai
berkompromi dengan riba.
- Bacom, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse on Usury: “Karena kebutuhannya, manusia
harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia
akan menerima suatu manfaat dari pinjaman iu, maka bunga harus diperbolehkan.” Secara perlahan tetapi
pasti larangan terhadap riba di Eropa ditiadakan.
- Di Inggris, larangan mengenai Riba dan Bunga dicabut pada tahun 1545, pada saat pemerintah Raja Henry
VIII. Pada zaman itulah istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga)
- Melihat spririt Kitab Exodus pasal 22 dan Deutronomy pasal 23 ayat 19 yang melarang praktek
pembungaan uang, amatlah tepat untuk diambil kesimpulan bahwa umat non-Muslim harus menyambut baik
inisiatif pendirian bank tanpa bunga.
- Hal ini disebabkan karena bank Islam telah memberikan jalan keluar dari apa-apa yang dilarang oleh kitab
suci mereka. Serta inilah mungkin sarana yang paling tepat untuk mengembangkan kerjasama antar umat
beragama, bersama-sama memerangi riba yang dilarang oleh agama samawi.
Terjadinya Perbedaan Ruang Lingkup “Riba”
- Sebab-sebab terjadinya perbedan ruang lingkup “riba” muncul, karena ayat tentang larangan riba di dalam
Al Qur’an diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat.
- Beliau tidak sempat menjelaskan secara terperinci tentang larangan “riba” tersebut.
- Ketika bunga bank dikaitkan dengan larangan riba, dan karena Rasulullah tidak pernah membicarakan
mengenai masalah bunga bank tersebut, maka hukum mengenai bunga bank harus dipecahkan melalui
ijtihad oleh para cendekiawan muslim.
- Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an. Sedangkan apabila ketentuan mengenai masalah yang
bersangkutan tidak ada atau tidak jelas dalam Al Qur’an, maka sumber hukum kedua yang harus diikuti
ialah Al Hadist.
- Apabila ternyata ketentuan mengenai hal tersebut tidak juga didapati atau tidak dapat dengan jelas
diketahui dari Al Hadist, maka kaum muslim harus berijtihad.
- Artinya memecahkan apa hukumnya mengenai masalah yang bersangkutan dengan menggunakan akalnya
- Ijtihad yang dianggap paling otoritatif adalah ijtihad yang diambil oleh sebagian besar ulama (jumhur ulama).
- Terdapat 3 (tiga) pandangan mengenai “riba” dan “bunga bank”, yakni sebagai berikut:
A. Pandangan Pragmatis
B. Pandangan Konservatif
C. Pandangan Sosio-Ekonomis
A.Pandangan Pragmatis
- Al-Qur’an melarang Usury yang berlaku selama sebelum era Islam, Tetapi tidak melarang bunga (interest)
dalam sistem keuangan modern. Pendapat ini didasarkan pada Al Qur’an Surah Ali-‘Imran ayat 130 yang
melarang penggandaan pinjaman melalui proses yang usurious.
- Transaksi-transaksi yang didasarkan oleh bunga dianggap sah. Bunga menjadi hal yang dilarang oleh hukum
apabia jumlah yang ditambahkan pada dana yang dipinjamkan itu luar biasa tingginya, yang bertujuan agar
pemberi pinjaman dapat mengeksploitasi penerima pinjaman.
- Di Indonesia dikenal dengan pemungutan bunga yang luar biasa tingginya sehingga sangat mencekik leher
dan dapat memelaratkan kehidupan peminjamnya, yaitu pemungutan bunga oleh para lintah darat.
- Pada Al Hadist tidak terdapat suatu bukti yang kuat bahwa yang dilarang oleh Islam adalah yang termasuk
juga bunga menurut sistem keuangan modern.
- Pembebanan bunga bank justru untuk kepentingan pembangunan ekonomi negara-negara muslim.
- Bunga dimaksudkan untuk menggalakkan tabungan dan mengerahkan modal untuk membiayai investasi-
investasi yang produktif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini penghapusan bunga akan menghambat
pembangunan ekonomi negara-negara muslim dan, bahkan, kebijakan untuk menghapuskan bunga dari
sistem keuangan akan bertentangan dengan semangat dan tujuan-tujuan Islam.
B. Pandangan Konservatif
- “Riba” bukan saja meliputi usury tetapi juga interest.
- Setiap imbalan yang telah ditentukan sebelumnya tertunda atas pinjaman adalah riba dan, oleh karena itu,
dilarang oleh Islam
- Riba yang demikian ini disebut “Riba Al-Nasi’ah
- “Riba” juga berarti kelebihan yang diperoleh atas pertukaran antar dua atau lebih barang yang sejenis yang
berlangsung di pasar.
- Larangan tersebut bertujuan untuk memastikan agar tidak akan digunakan tipu muslihat atau cara-cara yang
tidak sah sebagai jalan belakang bagi pemungutan riba berkaitan dengan transaksi yang tertunda.
- Riba tersebut adalah riba Al-Fadhl
- Jika melihat perbedaan antara Al-Nasi’ah dan riba Al-Fadhl. Riba Al-Nasi’ah terkait dengan tambahan
bayaran yang dibebankan dalam transaksi pinjaman, sedangkan riba Al-Fadhl bertalian dengan tambahan
bayaran yang dibebankan dalam transaksi penjualan.
- Riba Al-Nasi’ah dilarang oleh Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang jelas, sedangkan riba Al-Fadhl bertalian
dengan tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi penjualan. Riba Al-Nasi’ah dilarang oleh
Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang jelas, sedangkan riba Al-Fadhl dilarang oleh Nabi saw, melalui sunahnya
- Menurut Ibnu Qaiyim, berdasrkan penggolongannya riba Al-Nasi’ah adalah riba jali atau riba yang nyata.
Sedangkan riba Al-Fadhl adalah riba khafi atau riba yang tersembunyi
C. Pandangan Sosio-Ekonomis
- Melarang bunga bank dengan dalih yang bersifat sosio-ekonomis.
- Pandangan ini berpendapat bahwa prinsip keuangan Islam mengharuskan pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman menghadapi risiko (mukhatara).
- Pendapat yang terpenting adalah bahwa bunga mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan ditangan
segelintir orang saja. Pemasok dana yang berbunga itu seharusnya tidak tergantung pada ketidak pastian
yang dihadapi oleh penerima pinjaman.
- Pengalihan risiko dari satu pihak kepada pihak yang lan merupakan pelanggaran hukum. Perjanjian yang
demikian, adalah tidak adil dan dapat menimbulkan rasa hanya mementingkan diri sendiri saja (selfishness),
yang bertentangan dengan perintah Islam mengenai persaudaraan.
3 komentar:
tulizan yg bagus mba..subhanallah
Terimakasih mba atas catatan asuransi syariah udah saya baca , bagus...
terimakasih mba..
blog ini sangat membantu bagi mahasiswa untuk mempelajari lebih dalam tentang asuransi syariah dan perbankan syariah
sukses slalu...
Posting Komentar