Pages

Jumat, 26 September 2014

Pengangkatan Karyawan Outsource menjadi karyawan tetap






A.                 Pengertian
1.                  Pengertian secara umum
Pengertian mengenai istilah Karyawan Outsourcing (alih daya) adalah karyawan yang memiliki hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan Perusahaan Penyedia alih daya dan ditempatkan di kantor ataupun ditempatkan pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan seorang calon karyawan. Sedangkan Perusahaan alih daya adalah suatu perusahaan yang bergerak dibidang jasa (pengelolaan sumber daya) yakni penyediaan tenaga kerja yang telah dipilih melalui proses tender.

Outsourcing (alih daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, yang melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Pada prinsipnya, pekerjaan yang di-outsource bukanlah pekerjaan inti perusahaan. Karena dianggap bukan sebagai pekerjaan inti, maka seharusnya pekerjaan tersebut tidak rutin adanya. Namun hal ini berkembang, bahwa pekerjaan outsource bisa terus ada, sebab pekerjaannya tidak sama dengan pekerjaan proyek yang memiliki batas waktu. Namun yang sering terjadi karyawan outsourcing semakin banyak ditempatkan diberbagai unit penting pada perusahaan-perusahaan. 

Merujuk pada pengertian-pengertian itu, makna secara umum “outsourcing” adalah salah satu bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan  dengan perusahaan lain (yakni, perusahaan outsourcing atau vendor/service provider) untuk mengalihdayakan suatu sumber daya baik -dilakukan- oleh manusia atau dengan suatu –suku cadang- peralatan tertentu.
Di dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan, khususnya UU Ketenagakerjaan, sebenarnya tidak dikenal adanya sistem outsourcing.

Permasalahan yang sering muncul misalnya ada demonstasi atau gerakan buruh yang menuntut “Hapuskan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan”, menurut hemat saya, karena –memang- tidak ada istilah dan sistem outsourcing dalam UU dimaksud, jadi tidak ada yang perlu dihapuskan.

2.                  Pengertian secara Hukum
Outsourcing (alih daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja,  yang pengaturannya diatur pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Pengaturan tentang outsourcing (alih daya) ini sendiri masih dianggap kurang lengkap oleh Pemerintah.
Dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (alih daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Belakangan karena kebutuhan perusahaan yang cukup mendesak, maka outsourcing bukan lagi tenaga kerja dengan jangka pendek saja, padahal penggunaan outsourcing akan mengeluarkan dana lebih berupa management fee terhadap perusahaan outsourcing. Namun pengalihan tenaga kerja ini terkadang sering menimbulkan masalah ketenagakerjaan.
Dalam UU Nomor 13 tahun 2003, yang menyangkut  ketentuan outsourcing (alih daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
a.       Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1).
b.      Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
b.1.      Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama (namun kenyataannya yang                   
                    terjadi di perbankan, justru tenaga kerja outsource tersebut ditempatkan       
                    dibagian-bagian terpenting)
b.2.      Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi     pekerjaan.
b.3.      Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
b.4.      Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
  1. Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum, perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan.
  2. Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri.
  3. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya.
  4. Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  5. Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
  1. adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
  2. perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
  3. perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  4. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

B.                 Permasalahan

1.         Bagaimana tinjauan yuridis atas pengalihan pegawai outsourcing menjadi pegawai tetap.
2.         Apa konsekwensi hukumnya terkait dengan perusahaan outsourcing tersebut yang pegawainya ditarik sebagai pegawai tetap dalam suatu perusahaan, serta kaitannya dengan pegawai bersangkutan.
3.         Bagaimana Hak dan Kewajiban pegawai outsourcing tersebut?

C.                 Pembahasan
1.   Menarik pegawai outsourcing menjadi pegawai tetap justru tidak menyalahi aturan,  bahkan banyak himbauan untuk karyawan outsourcing (pegawai dengan sistim kontrak atau untuk jangka waktu tertentu) yang bekerja di bidang Perbankan, justru akan membahayakan ketahanan Perbankan Nasional. Sistem Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan kerja yang sifatnya utama / pokok.

     Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (alih daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

     Sedangkan lebih jelas dinyatakan pula pada Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa:

     “ Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.          pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b.         pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun
c.          pekerjaan yang bersifat musiman
d.         pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan

Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

Perjanjian Kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali diadakan untuk paling lama 1 (satu) tahun.”

Jadi, bagi karyawan outsourcing yang telah habis masa berlaku kerjanya (jangka waktu paling lama adalah 3 (tiga) tahun), selayaknya dapat diperbaharui atau diperpanjang hanya boleh 1 (satu) kali dan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dan selebihnya harus ditetapkan untuk diangkat sebagai karyawan tetap.

2.      Terkait dengan konsekuensi hukum terhadap penarikan karyawan outsourcing menjadi karyawan tetap. Berdasarkan klausula yang ada pada salah satu kontrak Perjanjian Kerja Sama dinyatakan bahwa:

      ” Pelimpahan karyawan kontrak dari suatu perusahaan tertentu (katakanlah PT Bank X) kepada perusahaan penyedia alih daya, dilakukan dengan ketentuan karyawan kontrak tersebut tetap akan mendapatkan keuntungan yang sama dengan keuntungan yang diterima sebelumnya.”

      ” Apabila Perusahaan tertentu (PT Bank X) tersebut tetap berkeinginan mengangkat salah seorang karyawan Outsource / salah seorang karyawan dari perusahaan penyedia alih daya menjadi karyawan di perusahaannya (PT Bank X) itu, maka PT Bank X harus membayar biaya sebesar satu setengah kali gaji sebulan karyawan yang bersangkutan.”

      Berarti berdasarkan klausula yang terdapat pada Perjanjian tersebut, merupakan konsekwensi yang harus kita jalani namun tidak tertutup kemungkinan bagi kita untuk mengadakan pendekatan secara kekeluargaan, bahwa biaya yang harus kita keluarkan tidak sebesar apa yang termaksud di dalam perjanjian tersebut.

3.      Hak Dan Kewajiban bagi pekerja ”outsourcing
a.  Hak atas “uang lembur”
     Hak atas “uang lembur” ini dimaksudkan lembur pada hari istirahat mingguan dan
     “hari besar” bagi tenaga kerja outsourcing, terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal  
    (terkait), bahwa berdasarkan Pasal 79 ayat (1) jo ayat (2) huruf b UU
     Ketenagakerjaan,  pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan (weeklyrest)
     kepada pekerja/buruh, masing-masing:
i.        1 (satu) hari untuk pola waktu kerja 6:1, dalam arti enam hari kerja dan satu hari istirahat mingguan;
ii.      2 (dua) hari untuk pola waktu kerja 5:2, dalam arti lima hari kerja dan dua hari istirahat mingguan;

Merujuk pada ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b jo 77 ayat (2) dan Pasal 78 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tersebut, pengertian hari istirahat mingguan di sini, bukan dan tidak berarti harus hari Minggu, atau hari Sabtu dan Minggu. Hari istirahat mingguan tersebut tidak harus hari Minggu atau Sabtu-Minggu, akan tetapi dapat ditetapkan di hari mana saja dan hari apa saja.

Jadi, apabila pekerja/buruh diperintahkan (dan disepakati) bekerja di hari Minggu belum tentu harus dibayar upah kerja lembur (UKL), kecuali hari Minggu tersebut kebetulan adalah merupakan hari istirahat mingguan baginya dan pekerja/buruh yang bersangkutan dipekerjakan pada hari istirahat mingguan dimaksud, maka jika demikian harus diperhitungkan upah kerja lembur-nya (UKL).

Berlainan halnya dengan hari libur resmi (yang istilah Saudara, “hari besar”). Menurut Pasal 85 ayat (1) s/d ayat (3) UU Ketenagakerjaan, bahwa –pada hakikatnya- pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Namun demikian (ada pengecualian), bahwa Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat -suatu- pekerjaan harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus, atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Konsekuensinya, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi termasuk untuk pekerjaan job “Satpam”, wajib membayar upah kerja lembur (UKL).

Besarnya hak upah kerja lembur pada hari istirahat mingguan dan hari libur resmi, diperhitungkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 huruf b dan huruf c Kepmenakertrans No. Kep-102/Men/VI/2004, yakni :

-       Pola waktu kerja 6:1, untuk 7 (tujuh) jam pertama = 2 x upah per-jam (UPJ), dan jam kedelapan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam sembilan dan sepuluh = 4 x UPJ. Kecuali, bila lembur pada hari kerja terpendek, diperhitungkan mulai dari 5 (lima) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam keenam = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam ketujuh dan kedelapan = 4 x UPJ

-     Pola waktu kerja 5:2, untuk 8 (delapan) jam pertama = 2 x UPJ, dan jam kesembilan = 3 x UPJ, serta (bila masih berlanjut) jam kesepuluh dan sebelas = 4 x UPJ.

-          UPJ = 1/173 x upah (upah pokok dan tunjangan tetap). Namun, apabila komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap serta tunjangan tidak tetap, maka dasar UPJ, adalah nilai terbesar antara [upah pokok + tunjangan tetap] atau [75% x (upah pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap)] 

b.      Hak dan kewajiban tenaga kerja dalam penandatanganan “kontrak kerja”
Hal ini dimaksudkan PKWT/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menyalahi “aturan dinas tenaga kerja” bahwa didasarkan pada Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (jadi sementara sifatnya).

Dengan demikian, jika tanda tangan kontrak kerja (PKWT) dan jika menyalahi ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan yakni pekerjaan tertentu yang dapat dibuat (diperjanjikan) melalui PKWT, maka menurut Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, maka dalam hal ini menyalahi ketentuan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan tertentu (yang boleh di-PKWT-kan)-, maka demi hukum –berubah- menjadi PKWTT (permanent).

Dengan demikian, apabila seseorang telah dipekerjakan (dan ditempatkan) di perusahaan persero (sebagai user) selama lebih dari 10 tahun, maka jika memenuhi syarat hubungan kerja, maka dianggap sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) di perusahaan vendor/service provider yang pertama tersebut, dan sudah barang tentu seharusnya berhak atas “pesangon” saat berakhirnya hubungan kerja dimaksud.

c.     Berkenaan dengan hak-hak tenaga kerja outsourcing (yang nota bene non-organik), pada umumnya sama saja hak-haknya dengan tenaga kerja organik di perusahaan user.

Hak-hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan kerja) yang diatur dan dituangkan dalam UU mengenai Ketenagakerjaan, relatif sangat banyak. Dapat saya contohkan (hak-hak langsung) secara berurut, antara lain misalnya:

  i.    hak non-diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Dalam arti, pekerja/buruh
  tidak boleh dibedakan dalam proses rekruit (khususnya dalam hubungan kerja) atas dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda (Pasal 5 UU Ketenagakerjaan).

ii.   hak memperoleh perlakukan dan hak-hak yang sama di tempat kerja -tanpa diskriminasi- (Pasal 6 jo Pasal 65 ayat [4] dan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya).

iii.  memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi kerja (Pasal 11 dan Pasal 18 jo Pasal 23 UU Ketenagakerjaan).

iv.  memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih/mendapatkan pekerjaan, pindah kerja dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31 jo Pasal 88 UU Ketenagakerjaan);
v.   memperoleh upah dan/atau upah kerja lembur apabila dipekerjakan melebihi waktu kerja normal, atau bekerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi (Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat [2] jo Pasal 77 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).

vi.    hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan hak upah (Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan);

vii.   hak untuk tidak bekerja pada saat (sakit) haid –khusus bagi wanita-, walaupun no work no pay (Pasal 81 UU Ketenagakerjaan);

viii.  hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah (Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan);

ix.    hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja);

x.     hak jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat [2] jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja);

xi.    berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sesuai kertentuan (Pasal 104 UU Ketenagakerjaan jo Pasal 5 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh);

xii.   hak mogok kerja sesuai prosedur (Pasal 137 dan Pasal 138 UU Ketenagakerjaan);

xiii.  hak memperoleh “pesangon” bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap –dan memenuhi syarat- PKWTT (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan)
dan lain-lain.


Demikian pembahasan terkait dengan karyawan “outsourcing” ini, semoga bermanfaat






Tidak ada komentar: