Pages

Kamis, 29 Oktober 2009

BAB IV PERIKATAN YANG BERSUMBER PADA PERJANJIAN

Perikatan yang bersumber pada Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan seterusnya. Buku III KUHPerdata ini terbagi atas 2 (dua) bagian besar, yakni:
1. Bagian Umum
Bagian Umum termaktub dalam Bab I - IV yang memuat asas-asas umum yang berlaku dalam Hukum Perjanjian. Yang dimaksud dengan asas-asas yang menyangkut Perikatan seperti tentang:
a. Pengertian;
b. Syarat sahnya perjanjian;
c. Berakhirnya perikatan.

2. Bagian Khusus
Bagian Khusus diatur dalam Bab V – XVIII yang mengatur perjanjian-perjanjian yang diberi nama tertentu, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya.

Antara kedua bagian ini terdapat hubungan erat dalam arti bahwa asas-asas umum dalam bagian umum menguasai bagian khusus (perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Bagian Khusus). Misalnya asas untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat, yakni:
a. Kata Sepakat;
b. Kecakapan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Kausa yang halal.

Jika suatu perjanjian memenuhi ke 4 (empat) syarat tersebut, maka perjanjian itu adalah sah. Jadi semua perjanjian yang diatur dalam Bagian Khusus harus memenuhi keempat syarat tersebut. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat kata sepakat dan kecakapan, maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan jika tidak memenuhi persyaratan hal yang tertentu dan kausa yang halal, maka perjanjian batal demi hukum (tidak mempunyai akibat hukum sama sekali).


A. Definisi Perjanjian
Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi ini kurang lengkap atau tidak secara lengkap menggambarkan tentang suatu perjanjian, karena:
1. Definisi hanya menyangkut Perjanjian sepihak, yakni Perjanjian dimana satu pihak saja yang berkewajiban melaksanakan suatu Prestasi. Jadi definisi tersebut tidak menyinggung tentang Perjanjian Timbal Balik yang merupakan bagian terbesar dari perjanjian-perjanjian yang ada.
2. Istilah “Perbuatan” tersebut terlalu luas, karena disamping menyinggung Perjanjian juga perbuatan-perbuatan lain yang bukan merupakan perjanjian. Lebih baik untuk kata “perbuatan” ini istilahnya diganti dengan “perbuatan hukum”, karena yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah perjanjian sebagai sumber Perikatan.
3. Tidak dipenuhinya syarat “kata sepakat”, padahal syarat tersebut merupakan intisari suatu perjanjian.

Pengertian perjanjian tidak hanya terdapat dalam Buku III, tetapi ada juga dalam Buku I, dimana antara lain yang merupakan suatu perjanjian yakni Perjanjian Perkawinan, dimana calon suami isteri memperjanjikan apa yang akan diperbuat dengan harta mereka yang dibawa dalam Perkawinan. Akan tetapi Perjanjian yang dimaksud dalam Buku III adalah perjanjian yang diatur dalam bidang hukum kekayaan, yakni bidang kebendaan dan bidang hukum perikatan.


B. Macam-macam Perjanjian
1. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil
1. Perjanjian Konsensual
Perjanjian yang tercipta jika telah tercapai suatu kata sepakat (consensus) antara 2 (dua) pihak yang membuat perjanjian.


2. Perjanjian Riil
Perjanjian yang tercipta jika di samping kata sepakat, juga telah terjadi pelaksanaan dari Prestasi yang diperjanjikan. Contoh: Hibah.

2. Perjanjian Prinsipal dan Perjanjian Accesoir
1. Perjanjian Prinsipal
Perjanjian yang bersifat pokok.

2. Perjanjian Accesoir
Perjanjian yang bergantung pada perjanjian pokok. Contohnya: Perjanjian pinjam meminjam dengan jaminan. Perjanjian pinjam meminjam merupakan perjanjian pokok sedangkan perjanjian accesoir-nya berupa jaminan dalam bentuk gadai atau hipotik.

3. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Zakelijk
1. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan.

2. Perjanjian Zakelijk
Perjanjian yang bermaksud untuk melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan. Contoh: perjanjian jual beli mobil.
Secara Obligatoir, perjanjian ini menimbulkan kewajiban bagi si penjual untuk menyerahkan mobil dan bagi si pembali untuk menyerahkan harga mobil;
Secara Zakelijk, pelaksanaan penyerahan mobil dan penyerahan harga mobil yang dijual.

4. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Liboratoir
1. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian yang menimbulkan suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.

2. Perjanjian Liboratoir
Perjanjian yang menghapuskan suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.

C. Bentuk Dan Isi Perjanjian
1. Bentuk Perjanjian
KUHPerdata tidak menentukan suatu bentuk tertentu bagi pembuatan suatu perjanjian. Jadi memberikan kebebasan bagi para pihak yang berkepentingan untuk menuangkan perjanjian dalam bentuk yang mereka kehendaki. Bentuk tersebut dapat secara lisan (perjanjian lisan) akan tetapi dapat juga dalam bentuk tulisan. Hal ini bergantung pada kemauan para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi, kadang-kadang UU menentukan bahwa suatu perjanjian harus dituangkan dalam bentuk tulisan. Misalnya:
a. Perjanjian Hibah
b. Perjanjian Perdamaian
Keduanya harus dituangkan dalam bentuk tulisan.

Dalam hubungan ini dapat timbul permasalahan: apa fungsi dari tlisan tersebut?

Apakah tulisan itu merupakan syarat sahnya suatu perjanjian atau merupakan alat bukti semata-mata?

Pada umumnya dianut pendapat bahwa tulisan tersebut dianggap sebagai alat bukti yang paling sempurna.

2. Isi Perjanjian
Mengenai Isi perjanjian, para pihak yang berkepentingan diberi kebebasan seluruhnya berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Mengenai isi perjanjian ada 3 (tiga) hal yang dapat dimaksukkan dalam perjanjian, yakni:
a. Essensialia
b. Accidentalia
c. Naturalia


a. Essensialia
Isi perjanjian yang harus dimasukkan kedalam perjanjian adalah menyangkut syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, dan jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dituntut pembatalannya.

b. Accidentalia
Suatu isi perjanjian yang tidak perlu dimasukkan dalam perjanjian, akan tetapi dapat dimasukkan jika dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Naturalia
Merupakan suatu isi perjanjian yang lazimnya termasuk didalamnya kecuali jika diperjanjikan lain. Misalnya: seorang penjual berkewajiban untuk menjamin kepada pembeli, terhadap cacat-cacat barang-barang yang diperjual belikan. Akan tetapi para pihak yang berkepentingan dapat memperjanjikan bahwa penjual tidak perlu menjamin .



D. Perjanjian Campuran
Asas kebebasan berkontrak juga memungkinkan para pihak yang bersangkutan untuk membuat perjanjian yang bersifat campuran (memuat unsur-unsur lebih dari satu perjanjian). Misalnya Perjanjian Sewa-beli. Dalam perjanjian ini tercantum 2 (dua) unsur perjanjian yang berlainan yakni: Unsur sewa dan Unsur Beli yang tercakup dalam satu perjanjian.

Dalam melaksanakan perjanjian campuran ini dapat timbul persoalan, yakni: jika 2 (dua) pertauran yang tercakup dalam perjanjian tersebut saling bertentangan, maka peraturan mana yang harus diperlakukan atas perselisihan tersebut? Apakah peraturan Perjanjian yang satu atau yang lainnya?

Bagaimana hal itu harus diselesaikan?

UU dalam hal ini tidak menentukan cara untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dan karena tidak ditentukan, maka penyelesaiannya diusahakan oleh Teori Hukum.
Ada 3 (tiga) Teori Hukum yang mencoba memberi penjelasan, yakni:
1. Teori Sui Generis
Teori ini mengatakan bahwa penyelesaian persoalan yang bersangkutan harus diselesaikan berdasarkan peraturan tentang Perjanjian dalam Bab V-XVIII, dan penerapannya adalah secara analogis.

2. Teori Absorbsi
Teori mengatakan bahwa dalam permasalahan tersebut harus dicari unsur-unsur mana yang menonjol, apakah unsur sewanya atau unsur belinya (dalam perjanjian sewa beli). Penyelesaiannya harus dicari berdasarkan peraturan yang menguasai unsur yang menonjol tersebut. Jadi, jika unsur sewa yang menonjol maka persoalan harus diselesaikan berdasarkan peraturan sewa.

3. Teori Kombinasi
Teori ini mengatakan bahwa untuk mencari penyelesaian harus diterapkan peraturan-peraturan yang menguasai perjanjian-perjanjian yang mencakup perjanjian campuran. Jadi, jika perjanjian-perjanjian Sewa Beli, maka harus diterapkan peraturan sewa maupun peraturan belinya (campuran).


E. Syarat Sahnya Perjanjian
Masalah syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320-1327 KUHPerdata. Ada 4 (empat) syarat mengenai syarat sahnya perjanjian ini, yakni:
1. Kata Sepakat
2. Kecakapan
3. Hal Tertentu
4. Causa yang halal

1. Kata Sepakat
Berarti bahwa antara kedua pihak sudah saling menyetujui segala sesuatu yang diperjanjikan. Namun dalam membuat perjanjian adakalanya terjadi gangguan yang dapat menjadikan kata sepakat tersebut terganggu (dalam arti menjadi tidak sempurna). Sempurna artinya bebas dari segala pengaruh orang ketiga: Gangguan dapat berupa : paksaan, kekhilafan, penipuan. Dalam hal itu maka perjanjian dapat dituntut pembatalanya.

a. Syarat Kata Sepakat
UU tidak membuat suatu ukuran mengenai hal ini. Maka diusahakan oleh Teori Hukum ukuran tersebut. Ada 2 (dua) teori yang mencoba menyelesaikan permasalahan ini, sebagai berikut:
a.1. Teori Kehendak (Wiljl Theorie)
Yang mengatakan bahwa tercapai kata sepakat jikalau tercapai persesuaian kehendak.



a.2. Teori Kepercayaan (Vertrouwen Theorie)
Yang mengatakan bahwa tercapai kata sepakat jika tercapai saling pengertian dari kepercayaan.

a.3. Teori Pernyataan (Verklaring Theorie)

Contoh : Kasus Oppenheim dan Weiller
Duduk Perkara : Oppenheim pesan pada Weiller 1000 helai saham untuk dibelinya. Pesan tersebut disampaikan melalui telegram. Kebetulan, telegram membuat kesalahan, yakni bukan membeli tetapi menjual saham. Weiller yang menerima pesan tersebut menjual saham Oppenheim. Pembeli saham minta penyerahan saham tersebut. Tetapi karena saham-saham itu tidak dipegang oleh Oppenheim, maka Weiiler minta penyerahan saham-saham tersebut dari Oppenheim. Pada saat itu oppenheim baru tahu jika terjadi kekeliruan. Oppenheim menolak menyerahkan saham-sahamnya karena tidak menghendaki penjualan saham. Karena Oppenheim menolak, maka Weiller terpaksa membeli saham-saham tersebut, untuk diserahkan kepada pembeli, sehingga ia rugi. Karena rugi tersebut lalu ia menuntut Oppenheim.
Permasalahan : Apakah jual beli saham tersebut oleh Weiller kepada orang ketiga sah atau tidak?

Menurut Teori Kehendak, maka dianggap tidak tercapai suatu Kata Sepakat, karena tidak dicapai persesuaian kehendak, yakni Oppenheim tidak menghendaki penjualan saham.
Menurut Teori Kepercayaan, dapat dianggap tercapai kata sepakat (consensus), karena telah tecapai suatu kepercayaan antara Weiller dan orang ketiga, yakni percaya bahwa Weiller memang berhak menjual. Orang ketiga percaya bahwa Weiller berwenang. Putusan pengadilan (menganut Teori Kehendak) menganggap bahwa dalam kasus ini tidak ada perjanjian (kata sepakat). Akan tetapi Oppenheim diwajibkan oleh Pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada Weiller berdasarkan pertimbangan Oppenheim telah menggunakan alat penghubung yakni telegram yang diragukan ketepatannya.


b. Pengaruh Terhadap Syarat Kata Sepakat
Pengadilan menentukan adanya 3 (tiga) macam pengaruh terhadap kata sepakat yang sedemikian rupa, sehingga kata sepakat itu menjadi tidak sempurna, yakni:
b.1. Kemungkinan terjadinya paksaan ini terbagi atas dua
macam yakni, paksaan fisik dan paksaan batin. Yang
dimaksud UU dalam hal ini adalah paksaan batin, yakni
berupa ancamn yang dapat dilakukan oleh pihak- pihak yang membuat perjanjian.

b.2. Kemungkinan terjadinya kekhilafan dalam membuat
perjanjian. Khilaf artinya mempunyai gambaran yang
keliru tentang apa yang diperjanjikan oleh pihak-pihak
yang membuat perjanjian. Misalnya, seseorang
membeli lukisan yang disangkanya adalah hasil dari
pelukis terkenal. Akan tetapi ternyata bukan. Dalam hal
ini terjadi khilaf tentang obyek perjanjian.
Kekhilafan dapat juga mengenai orangnya, dengan siapa perjanjian itu dibuat, misalnya, dibuat perjnjian tentang pertunjukkan yang akan diselenggarakan dengan penyanyi yang terkenal. Akan tetapi ternyata penyanyi tersebut hanya orang yang mirip dengan penyanyi tersebut.

b.3. Kemungkinan terjadi penipuan. Penipuan adalah suatu
rangkaian kebohongan yang dilakukan dengan tipu muslihat. Jadi, disyaratkan, adanya tipu muslihat dan tidak cukup hanya dengan kebohongan saja.
Misalnya: Kebohongan: Penjual memuji barangnya, padahal barang yang dijualnya buruk. Penipuan: Orang yang menjual mobil lama yang telah digosok sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan seolah-oleh masih baru.

Bagaimana dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat sebagai paksaan. Kekhilafan dan penipuan? Perjanjian yang dibuat dengan cara demikian dapat dituntut pembatalannya (sah dengan kemungkinan dituntutnya pembatalan).


2. Kecakapan
Cakap artinya mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian secara sah dan wewenang untuk melakukan proses di muka pengadilan dalam hal terjadinya ingkar janji.

Pada umumnya setiap orang cakap. Orang disebut tidak cakap bila ketentuan UU menyatakan orang tersebut tidak cakap membuat perjanjian-perjanjian dengan hukum yang sempurna, diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata. Namun Pasal 1330 KUHPerdata memberikan pengecualian, yakni ada 3 (tiga) golongan orang yang dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
a. anak yang masih dibawah umur / anak yang belum dewasa
b. orang yang berada di bawah pengampunan
c. wanita yang bersuami (peraturan ini telah dinyatakan tidak berlaku dengan adanya Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap adalah dapat dituntut pembatalannya.

3. Hal Tertentu
Berarti apa yang, diperjanjikan harus jelas, sehingga dapat diketahui batas-batas hak dan kewajiban. Tidak dipenuhinya syarat ini, menimbulkan kebatalan (demi hukum / batal demi hukum) artinya dari semula tidak mempunyai akibat hukum terhadap perjanjian yang diperjanjikan / diadakan.

4. Causa Yang Halal
Causa yang halal berarti isi dari perjanjian harus halal (tidak bertentangan dengan UU, norma kesusilaan atau ketertiban umum). Causa disini berarti isi perjanjian. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

Contoh : Perjanjian dengan Causa yang tidak halal
Mengadakan perjanjian pinjam meminjam uang dengan maksud untuk tujuan yang bertentangan dengan UU (misalnya untuk membunuh). Dalam hal ini tujuan Perjanjian tersebut bertentangan dengan UU. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat tersebut adalah batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 1338 KUHperdata
Bahwa setiap perjanjian mengikat para pihak. Kepada para pihak diberi kebebasan untuk:
1. Membuat perjanjian;
2. Menentukan isi perjanjian (ingat dengan causa yang halal). Karena ayat ini mengandung asas kebebasan berkontrak;
3. Menentukan bahwa perjanjian-perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik. Jadi pelaksanaan perjanjian yang dibuat itu harus selalu sejalan dengan norma kepantasan.

Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata
Menunjukkan terikatnya perjanjian pada sifat kebiasaan dan undang-undang. Pasal ini harus dihubungkan dengan Pasal 1347 KUHPerdata, yang mengatur hal-hal yang menurut kebiasaan selalu diperjanjikan untuk secara diam-diam dianggap tercantum dalam perjanjian. Hal ini menyangkut apa yang dinamakan Standard Clausula, yakni janji-janji yang selalu dianggap tercantum dalam perjanjian-perjanjian tertentu. Dengan demikian Perjanjian dikuasai oleh faktor-faktor:
a. Apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak;
b. Ketentuan UU yang bersifat mengatur;
c. Kebiasaan;
d. Kepatutan.

Yang dimaksud dengan kebiasaan dalam Pasal 1339 KUHPerdata bukanlah kebiasaan setempat, tetapi ketentuan-ketentuan dalam kalangan tertentu yang selalu diperhatikan.

Apa arti urutan faktor-faktor yang disebut itu?

Arti urutan faktor-faktor di atas adalah bahwa dalam hal terjadinya suatu perselisihan antara para pihak, dimana pihak yang satu berpegang pada faktor tertentu dalam urusan tersebut, sedangkan pihak lain memegang faktor lainnya dari urutan itu, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya perbenturan peraturan yang dipegang oleh masing-masing pihak.

Maka akan timbul masalah: Faktor manakah yang harus diperlukan dalam
perselisihan tersebut?

Contoh I : A membuat perjanjian sewa menyewa dengan B. Lalu B (si penyewa) ingkar janji (tidak mau bayar uang sewa). Karena B tidak mau membayar, maka A menuntut B di muka Pengadilan (yang diperselisihkan adalah uang sewa). Dalam hal ini B berpegang pada norma kebiasaan, yakni uang sewa ditarik di rumah penyewa. Di pihak lain, A berpegang pada UU, yang menentukan sebaliknya, yakni uang sewa harus dibawa ke rumah pemilik rumah.

Dalam hal ini, peraturan mana yang harus diterapkan? UU atau Norma Kebiasaan?

Untuk memecahkan masalah tersebut, kita dapat melihat urutan faktor-faktor di atas. Jadi, dalam hal ini adalah faktor peraturan UU.

Contoh II : A membeli sapi dari B. Ternyata sapi tersebut sakit dan kemudian sapi tersebut mati sebelum diserahkan oleh B. A si Pembeli menuntut penyerahan sapi itu. Si Penjual (B), karena sapinya telah mati, ia tidak dapat menyerahkan, sedangkan B tetap menuntut pembayaran uang untuk sapi tersebut.
Dalam kasus ini:
a. Penjual berpegang pada Pasal 1460 KUHPerdata, pasal tersebut menentukan bahwa risiko harus ditanggung oleh si Pembeli. Artinya, pembeli tetap harus membayar uang meskipun sapi tersebut telah mati.
b. Sebaliknya pembeli berpegang pada suatu Standard Clausula (yakni klausula yang selalu harus dianggap tercantum dalam perjanjian-perjanjian dalam kalangan tertentu).

Klausula tersebut yakni:
Jika sapi mati, maka kewajiban untuk membayar sapi menjadi hapus karena sapi telah mati. Dalam hal ini terlihat adanya 2 (dua) peraturan yang saling bertentangan / berbenturan. Dalam hal ini yang dimenangkan adalah standard clausula, karena tekanannya pada janji yang dalam urutan faktor merupakan faktor yang paling tinggi.

Jadi, arti dari urutan faktor yang disebutkan oleh Pasal 1339 KUHperdata, yakni:
Bahwa dalam hal tersebut terdapat suatu pertentangan antara peraturan-peraturan yang dipegang oleh para pihak dalam perselisihan yang menyangkut perjanjian yang mereka buat, maka faktor yang disebut terlebih dahulu yang menentukan hukum yang harus diperlakukan terhadap kasus. Artinya faktor yang menentukan adalah faktor yang disebut terlebih dahulu dalam urutan.


F. Actio Pauliana
Pasal 1341 KUHPerdata mengatur apa yang disebut : Actio Pauliana, yakni hak untuk menuntut pembatalan perbuatan yang dilakukan oleh Debitur dengan maksud untuk merugikan Pihak Kreditur.

Contoh : A meminjamkan uang kepada B sebesar Rp 1 Milyar dengan jaminan harta kekayaannya sejumlah Rp 1 Milyar pula, Debitur lalu menghibahkan setengah dari hartanya kepada pihak ketiga, sedangkan ia mengetahui bahwa penghibahan ini akan merugikan pihak Kreditur.

Dalam hal ini Kreditur dapat berhak menuntut pembatalan Hibah yang merugikan pihaknya. Dalam hal ini tentunya rugi karena jaminannya menjadi berkurang. Untuk dapat melakukan hak tersebut, harus dipenuhi beberapa syarat, yakni:
1. Perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak wajib;
2. Perbuatan yang tidak wajib itu merupakan perbuatan hukum (misalnya perjanjian);
3. Perbuatan itu menimbulkan kerugian pada pihak Kreditur;
4. Debitur mengetahui bahwa perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak Kreditur.
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka pihak Kreditur berhak menuntut pembatalan perbuatan Debitur yang merugikan itu (atau mengajukan Actio Pauliana).

G. Penafsiran Undang-undang Dan Perjanjian
Penafsiran undang-undang dan perjanjian tercantum dalam Pasal 1342-1351 KUHPerdata. Tidak semua pasal UU tersebut akan dibicarakan, hanya beberapa yang perlu saja.

1. Pasal 1342 KUHPerdata
Mengatakan bahwa jika kata-kata dalam suatu perjanjian telah jelas maka tidak diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran. Pada hakekatnya kata-kata dalam UU meski tampak jelas, jika diterapkan dalam kasus tertentu akan menjadi tidak jelas.
Misalnya, suatu peraturan yang menentukan suatu larangan untuk menempatkan sebuah kursi di taman (karena akan merusak keindahan taman tersebut). Dalam praktek dapat terjadi bahwa orang menempatkan bangku dan bukan kursi. Apakah orang tersebut melanggar larangan tersebut? Dari contoh tersebut sudah jelas bahwa kata-kata suatu peraturan walaupun telah jelas masih memerlukan dilakukannya penafsiran.

2. Pasal 1342 KUHPerdata
Mengatakan bahwa jikalau timbul keragu-raguan tentang perumusan suatu pasal UU, maka harus dicari maksud pembentuk UU yang terkandung dalam pasal tersebut.

3. Pasal 1344 s/d 1351 KUHPerdata
Mengatur ketentuan-ketentuan dalam rangka memberikan penafsiran perjanjian-perjanjian. Jadi lebih bersifat teknis.

Tidak ada komentar: