Pages

Jumat, 23 Oktober 2009

BAB III PERIKATAN DENGAN ANCAMAN HUKUMAN

Kadang-kadang diperjanjikan bahwa dalam hal pihak Debitur tidak melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan, maka Debitur tersebut akan dikenakan sanksi (Pasal 1304 KUHPerdata). Sanksi ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya Wan-Prestasi oleh Debitur. Sifat sanksi ini accesoir, artinya bergantung pada perjanjian yang lain. Perjanjian mengenai ancaman hukuman adalah suatu sanksi yang dikenakan terhadap Debitur yang lalai. Jadi harus ada perjanjian lain yang bersifat pokok dimana perjanjian ancaman hukuman menggantungkan diri. Sah tidaknya perjanjian mengenai perjanjian ancaman hukuman tergantung dari perjanjian pokok. Karena maksudnya untuk mencegah Wan-Prestasi, maka ancaman hukuman harus efektif. Artinya mempunyai kekuatan pencegah.


A. Bentuk Dan Isi Perjanjian Ancaman Hukuman
Undang-undang tidak menentukan suatu bentuk tertentu mengenai hal ini. Jadi, Perjanjian dapat dibuat secara lisan ataupun tertulis, yang dapat dituangkan dalam bentuk Perjanjian atau dalam bentuk wasiat. Perjanjian dengan ancaman hukuman lazimnya berisi suatu sanksi, yang dikenakan terhadap Debitur yang lalai. Biasanya berupa kewajiban untuk membayar suatu jum4lah uang tertentu.

Bila Perjanjian ancaman ini mulai berlaku?

Perjanjian ini mulai berlaku efektif jika Debitur lalai memenuhi Prestasi yang diperjanjkan.

Diperjanjikannya suatu ancaman hukuman tidak menutup kemungkinan bagi kreditur untuk meminta lain daripada denda itu. Kreditur dapat pula menuntut pelaksanan Prestasi ataupun pemberian Ganti Rugi. Akan tetapi Kreditur tidak dapat menuntut secara bersamaan, yakni:
1. Denda dengan Ganti Rugi
2. Denda dengan pelaksanaan Prestasi

Disamping itu jumlah denda yang diperjanjikan merupakan suatu jumlah yang tetap, karena itu tidak dapat dikurangi dan tidak dapat ditambah. Hakimpun tidak berwenang merubah denda tersebut, akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa denda tidak dapat dikurangi, yakni dalam hal Prestasi yang diperjanjikan telah dilaksanakan oleh Debitur untuk sebagian besar. Dalam hal telah terjadi Wan-Prestasi oleh Debitur. Seperti diatas (melaksanakan sebagian besar). Hal ini merupakan alasan untuk mengurangi jumlah denda mengingat keadaan.


B. Keadaan Memaksa
Masalah Keadaan Memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Namun kedua pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang pengertian keadaan memaksa, dan hanya menyinggung adanya halangan yang tidak dapat diatasi dan yang tidak diduga. Oleh karena ilmu hukum berusaha untuk memberikan batasan terhadap pengertian tersebut.
Dalam ilmu hukum ada 3 (tiga) aliran yang berusaha memberikan suatu batasan, yakni:
1. Aliran Obyektif
Aliran ini mengatakan bahwa terdapat suatu keadaan memaksa jika timbul halangan bagi seseorang Debitur yang tidak dapat diatasi olehnya, dengan segala macam cara. Misalnya: diperjanjikan bahwa penjual harus menyerahkan sapi pada pembeli tetapi ternyata kemudian sapi tersebut mati. Mati adalah keadaan yang tidak dapat diatasi oleh siapapun dan dengan cara apapun. Hanya halangan semacam ini yang menimbulkan keadaan memaksa. Pengertian keadaan memaksa menurut teori ini sangat sempit. Terlalu banyak diberikan perlindungan kepada pihak Kreditur.

2. Aliran Subyektif
Aliran ini mengatakan bahwa terdapat suatu Keadaan Memaksa jika terdapat halangan yang sebenarnya dapat diatasi, akan tetapi tidak dapat diatasi oleh Debitur yang bersangkutan. Jadi, menurut teori ini keadaan memaksa pada hakekatnya lebih dititik beratkan pada kepentingan Debitur.

3. Aliran Campuran
Aliran ini menggabungkan kedua teori terdahulu. Menurut teori ini, terdapat keadaan memaksa kala terpenuhi 3 (tiga) syarat, yakni:
a. Prestasi Terhalang
Menurut syarat ini, harus ada halangan yang menghalang-halangi dilaksanakannya Prestasi. Prestasi harus terhalang oleh keadaan sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dilaksanakan.

b. Tidak Ada Kesalahan Pada Pihak Debitur
Kesalahan harus diartikan secara luas dalam arti ada kesengajaan dan kelalaian untuk merugikan orang lain. Kesengajaan artinya ada niat untuk merugikan orang lain, sedangkan kelalaian artinya harus berbuat akan tetapi tidak melakukan perbuatan atau melalaikan kewajiban.

c. Debitur Tidak Diwajibkan Untuk Memikul Resiko
Kewajiban untuk menanggung kerugian. Jadi, pihak Debitur harus tidak mengetahui bahwa akan timbul halangan yang akan merintangi terlaksananya Prestasi.


C. Akibat Keadaan Memaksa
Ada 2 (dua) akibat yang lazim dari keadaan memaksa, yakni:
1. Debitur tidak diwajibkan lagi untuk membayar ganti rugi. Debitur dibebankan dari kewajiban tersebut.
2. Debitur dapat juga dibebaskan dari melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan.

Siapakah yang harus membuktikan keadaan memaksa jika terjadi perselisihan?

Keadaan Memaksa ini merupakan suatu upaya hukum yang memberikan kepada Debitur suatu upaya untuk membela terhadap tuntutan-tuntutan Kreditur. Oleh karena itu, maka pihak Debiturlah yang berkewajiban untuk membuktikan adanya hal yang membuat Keadaan Memaksa tersebut.


D. Macam-macam Keadaan Memaksa
Perihal Keadaan Memaksa, dibedakan adanya 2 (dua) macam, yakni:
1. Keadaan Memaksa Bersifat Mutlak
Dalam hal terjadinya kematian, atau bencana alam yang dapat menimbulkan tidak mungkinnya lagi Prestasi dilaksanakan. Dalam hal ini pihak Debitur dibebaskan sama sekali dari kewajiban untuk melaksanakan Prestasi.

2. Keadaan Memaksa yang bersifat Sementara
Hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Misalnya: seorang Debitur harus membuat pembangunan gedung, tetapi kemudian ia jatuh sakit dan tidak dapat menjalankan Prestasi. Sakitnya Debitur itu merupakan Keadaan Memaksa untuk Sementara Waktu. Bila ia telah sembuh, maka kewajibannya akan berlaku lagi.

Tidak ada komentar: