LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No. 1, 1974
|
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua
warga negara;
Mengingat: 1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IV/MPR/1973;
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB
I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa.
Pasal
2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
3
(1) Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal
4
(1) Dalam hal seorang suami akan
beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat
(1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal
5
(1) Untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada
ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB
II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari
kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat
antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau
salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1)
sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal
7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap
ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai
keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan
(4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut
ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(6).
Pasal
8
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu
mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang
tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri
atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal
9
Seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
10
Apabila suami dan isteri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Pasal
11
(1) Bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu
tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal
12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB
III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal l3
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila
ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal
14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan
ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara,
wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat
(1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam
ayat (1) pasal ini.
Pasal
15
Barang siapa karena perkawinan
dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
16
(1) Pejabat yang ditunjuk
berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang
ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk
sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal
17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan
kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan
dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai
diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal
18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan
pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal
19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan
apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal
20
Pegawai pencatat perkawinan tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal
21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka
permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai
pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya
ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai
pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa
perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan
menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan
dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang
kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut
hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.
BAB
IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal
23
Yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut
ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Pasal
24
Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
25
Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal
26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di
muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami
atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka
telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal
27
(1) Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti,
atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal
28
(1) Batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut
terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak
dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan
didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak
termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB
V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak
ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB
VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Pasal
31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal
32
(1) Suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal
33
Suami isteri wajib saling
cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satu kepada yang lain.
Pasal
34
(1) Suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan
rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
BAB
VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Pasal
36
(1) Mengenai harta bersama, suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal
37
Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB
VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.
a. kematian,
b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal
39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan
sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal
40
(1) Gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan
tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal
41
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana
bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB
IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal
43
(1) Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1)
di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
44
(1) Seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB
X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang
tua putus.
Pasal
46
(1) Anak wajib menghormati orang tua
dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal
47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal
48
Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal
49
(1) Salah seorang atau kedua orang
tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.
BAB
XI
PERWALIAN
Pasal 50
PERWALIAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi
anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal
51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu
orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan
surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil
dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di
bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama
dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta
benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan
mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung-jawab tentang
harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal
52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48
Undang-undang ini.
Pasal
53
(1) Wali dapat dicabut dari
kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk
orang lain sebagai wali.
Pasal
54
Wali yang telah menyebabkan kerugian
kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB
XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya
dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut
dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan
tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.
Bagian
Kedua
Perkawinan di luar Indonesia
Pasal 56
Perkawinan di luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di
luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara
Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun
setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian
Ketiga
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal
58
Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya,
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan
Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal
59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang
berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang
dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal
60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat
dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa
syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada
rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat
perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan
menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta
tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa
penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang
tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak
dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal
61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh
pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa melangsungkan
perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat
yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang
disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang
mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal
62
Dalam perkawinan campuran kedudukan
anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian
Keempat
Pengadilan
Pasal 63
Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan
dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan
Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB
XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal
65
(1) Dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberi jaminan hidup
yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya
tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan
isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang
sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi
izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak
menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB
XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898
No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut
akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini
yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
LEMBARAN NEGARA RI
No. 3019
|
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN UMUM
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa
seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan
yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum
perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti
berikut:
a. bagi orang-orang Indonesia Asli
yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli
lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli
yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S.
1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan
warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing
lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut
berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan
Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Sesuai dengan landasan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu fihak
harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang
Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
4. Dalam Undang-undang ini
ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang
tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling
membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini
dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas
monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut
prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur.
Di samping itu, perkawinan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih
rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka
Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi, wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang
ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
5. Untuk menjamin kepastian hukum,
maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang
telah ada adalah sah.
Demikian pula apabila mengenai
sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku
ketentuan yang ada.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan
Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang
bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Pasal 2
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat
(1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
(1) Undang-undang ini menganut asas
monogami.
(2) Pengadilan dalam memberi putusan
selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus
mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami
mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
(1) Oleh karena perkawinan mempuryai
maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia,
dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan
dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak
berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan
yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang ini.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
(5) Cukup jelas.
(6) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
(5) Cukup jelas.
(6) Cukup jelas.
Pasal 7
(1) Untuk menjaga kesehatan
suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang
ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi
terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933
Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
(3) Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai
maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu
tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat
dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak
mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Pengertian "dapat" pada
pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut
ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Yang dimaksud dengan
"perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk tak'lik - talak.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Apabila perkawinan putus, maka harta
bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Yang dimaksud dengan
"hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
(1) Cukup jelas.
(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina
atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan
yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga.
(3) Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang
berkepentingan mengucapkan sumpah.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Yang dimaksud dengan
"kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai
wali-nikah.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar