(Sumber: Kajian Utama “Tabloid Ibadah”, No. 06 ed: 15 Juli – 15 Agustus 2010/Th.I,hal. 7)
1. Prinsip Tauhid
Prinsip Tauhid dalam berasuransi syariah mempunyai arti bahwa niatan dasar seorang Mukmin ketika melakukan transaksi asuransi syariah haruslah berorientasi kepada pengharapan mendapatkan rida Allah. Artinya, dari sisi perusahaan jasa asuransi, asas yang harus digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung kepada yang mengandung syariah. Namun, lebih dari itu, niat awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi.
Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah ditujukan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian, maka nilai tauhid terimplementasikan pada industri syariah.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip Keadilan berarti bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, serta terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Singkat kata, implementasi asuransi syariah sedikitpun tidak boleh mengandung unsur penindasan, eksploitasi dan menzalimi para nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau bahkan merugikan mereka.
Fakta di lapangan menunjukkan, dilihat dari aspek asuransi sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidakadilan sangatlah besar. Sebut saja, misalnya, adanya unsur dana hangus dalam kasus saving produk. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan.
3. Prinsip Tolong Menolong
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasionalisasi asuransi syariah. Sebab, pada hakekatnya, konsep asuransi syariah didasrkan pada prinsip ini. Dalam prateknya, sesama peserta asuransi ber-tabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja, di mana perusahaan asuransi syariah hanya bertindak sebagai pengelola saja. Berdasarkan prinsip ini, maka perusahaan asuransi syariah tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ yang terkumpul dari para nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut yang biasanya dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).
4. Prinsip Kerjasama
Antara nasabah dan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakan. Dengan akad mudharabah dan atau musyarakah, misalnya, hubungan kerjasama terjalin dengan posisi nasabah sebagai shahibul maal (pemilik modal), sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharib (pengelola/pengusaha). Apabila dari dana asuransi-investasi syariah tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah.
5. Prinsip Amanah
Amanah dalam hal ini berarti bersikap jujur dan dapat dipercaya atas dasar kesadaran bahwa apapun yang dilakukan seorang hamba di dunia ini nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah. Berdasarkan prinsip ini perusahaan dituntut untuk amanah dan tidak semena-mena mengeksploitasi nasabah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dan tidak mengada-ada dalam mengklaim aspek resiko yang menimpanya.
6. Prinsip Saling Rida
Aspek ‘an taradhin atau saling rela dan berlega hati di antara para pihak yang terkait dalam sebuah transaksi juga tak kalah pentingnya untuk dijaga aplikasinya dalam berasuransi syariah. Dijabarkan secara teknis, prinsip ini berarti bahwa nasabah harus rida dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan professional. Dan perusahaan asuransi syraiah pun rida terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi atau premi mereka. Selain itu, nasabah juga harus benar-benar rida dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, yakni untuk meringankan beban penderitaan mereka.
7. Prinsip Bebas Riba
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh-jauhnya, khususnya dalam berasuransi. Artinya, selain kontribusi atau premi yang dibayarkan nasabah harus diinvestasikan pada investasi yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya, maka system operasional asuransi syariahnya juga harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’. Dengan begitu, unsur riba pada pemberian manfaat atau klaim asuransi syariah kepada nasabah dapat dihindarkan.
8. Prinsip Bebas Maisir
Asuransi yang dikelola secara konvensional dianggap banyak pakar ekonomi syariah sebagai praktek akad yang mengundang unsur maisir atau gambling. Pasalnya, seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak pernah klaim. Di sisi yang lain terdapat nasabah yang baru satu kali membayar premi lalu klaim.
Hal ini dapat terjadi karena konsep dasar yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk. Perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi tersebut menjadi milik perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besar di saat premi banyak dan klaim sedikit, atau bisa rugi banyak ketika premi sedikit dan klaimnya banyak. Unsur maisir inilah yang harus dihindarkan dalam implementasi asuransi syariah.
9. Prinsip Bebas Gharar
Gharar artinya ketidak jelasan. Dalam konteks ini, asuransi selalu berbicara mengenai aspek risiko, padahal risiko itu sendiri bisa terjadi dan bisa tidak. Aspek ketidakjelasan inilah yang disebut Gharar yang menurut aturan syariah jelas tidak boleh terjadi dalam setiap transaksi. Pada kasus asuransi konvensional, karena asas yang digunakan adalah transfer of risk, maka peserta tidak mengetahui secara pasti apakah ia mendapatkan klaim atau tidak, karena klaim sangat bergantung pada risiko yang menimpanya. Jika ada risiko, maka ia akan mendapatkan klaim, namun jika tidak maka ia tidak mendapatkan klaim. Disinilah terletak unsur gharar.
Oleh karena itu, konsep yang digunakan oleh asuransi syariah adalah sharing of risk, sehingga unsure ketidakjelasan tadi tidak menjadi gharar yang diharamkan. Sebab, keharaman gharar hanya berlaku pada transaksi pertukaran atau tijarah, dan tidak menjadai haram pada kasus transaksi kebajikan atau tabarru’.
10. Prinsip Bebas Risywah
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah harus menjauhkan diri dari aspek risywah atau sogok menyogok/suap menyuap. Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan.
Sebagai contoh, misalnya nasabah tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaat (klaim). Begitu juga sebaliknya. Perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan premi (kontribusi) asuransi. Segala sesuatunya harus dilakukan secara baik, transparan, adil dan dilandasi semangat persaudaraan dan sepenanggungan. Dengan demikian prinsip keadilan harus sangat dipertimbangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar