Oleh:
Adam
Surya Alam
Konsep
Dasar.
Para ulama
ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi
adalah mukallaf yang perbuatannya
berkaitan dengan hukum syari’. jadi mukallaf itu merupakan definisi lain
dari mahkum alaihi. Dalam
paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu
zahrah mendefinisikan mahkum alaih
dengan “orang mukallaf, karena dialah
yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dan termasuk atau
tidak dalam cakupan perintah dan larangan. Secare etimologi mukallaf merupakan definisi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan.
Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf
berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mengenai mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh
aktivitas mukallaf memiliki implikasi
hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di
akhirat.
Dasar
Taklif
Seorang mukallaf dianggap sah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua syarat:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
Yakni ia
harus mampu memahami nashab-nashab hukum yang dibebankan al-Qur’an dan
al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak
mampu memahami dalil taklif tentu
tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai. Sementara kemampuan untuk memahami
dalil itu hanya diperoleh melalui akal, dan dengan adanya nashab-nashab yang dibebankan kepada orang-orang yang
mempunyai akal itu dapat diterima pemahaman nya oleh akal mereka. Sebab akal
adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu. Jadi akal-lah yang menjadi raison de etre atau alasan utama adanya
taklif dari Allah Swt. Imam al-Amidy mengatakan “Para ahli sepakat bahwa syarat
mukallaf haruslah berakal dan paham.
Taklif adalah tuntutan, maka mustahil
membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak paham, seperti benda mati atau
binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman
global (mujnal) terhadap tuntutan
tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah atau larangan
yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau yang memerintah adalah Allah Swt
yang satu-satunya harus ditaati, maka statusnya untuk memahami secara rinci
sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu. Orang yang
demikian dimaafkan dalam hal tidak mampu memahami dalil taklif, karena taklif
tidak saja tergantung kepada pemahaman dasar,tuntutan tetapi juga pada pemahaman
yang terperinci (tafsiliy).” Berangkat
dari dasar filosofi hukum tersebut, maka pendidikan hukum di dalam Islam sangat
menghargai nilai-nilai intelektualitas manusia, karena ketika Allah menurunkan
aturan dan norma-norma obyektif kepada umat manusia, Allah Swt menjelaskan
alasan dibalik pembebanan itu dengan melakukan dialog kepada akal manusia.
Sehingga prilaku mukallaf di hadapan
hukum Tuhan, bukan karena atas dasar paksaan, akan tetapi bertitik tolak dari
pemahaman yang mendalam, bahwa semua itu di maksudkan untuk memberikan
kemaslahatan umat manusia. Inilah yang dimaksud dengan maqashid as-Syari’ah.Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang
tidak dapat di duniawi secara lahiriyah,
maka syar’i telah menghubungkan taklif
dengan hal yang nyata, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yaitu kedewasaan.
Maka orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat
yang merusak akalnya, berarti telah sempurna untuk terkena beban hukum.
Adapun indikasi
kedewasaan manusia. Bagi laki-laki pada
umunya adalah mimpi basah. Sedang bagi perempuan keluar darah haidh. Hal ini
sejalan dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nur: 59
“Apabila
anakmu sampai umur baligh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti orang-orang
yang sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah orang gila dan
anak-anak tidak dikenai beban hukum karena tidak adanya kal yang digunakan
untuk memahami apa yang dibebankan. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan
mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang tidak memiliki kemampuan untuk
memahami. Sebagaimana Hadist Rasulullah:
”Diangkatlah
pena itu (tidak dicatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang: orang yang
tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal”.
Belaiu juga bersabda:
Belaiu juga bersabda:
“Barang
siapa yang tidur sampai tidak melakukan sholat (habis waktunya) atau lupa
mengerjakannya, maka hendaklah dia sholat ketika dia ingat, karena sesungguhnya
waktu ingatnya itulah waktu sholatnya. ”Namun, dalam syarat yang pertama ini bukan
tidak terdapat permasalahan.
Dalam
beberapa hal, anak kecil atau orang gilapun dikenakan beberapa kewajiban
seperti membayar zakat dari hartanya. Imam al-Ghazali, al-Amidy, adan asy-Syaukani
menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar
zakat fitrah, nafkah diri mereka sendiri dan ganti rugi bila mereka merusak
atau menghilangkan harta orang lain. Bahkan para ulama sepakat bahwa adanya
wajib zakat atas tanaman dan buah-buahan mereka. Hal ini jelas suatu taklif, sehingga mereka tidak bisa
dikatakan bahwa mereka tidak kena taklif.
Hanya saja taklif itu, tidak
berkaitan atau lahir dari diri pribadi perbuatan anak kecil atau orang gila
tersebut, tetapi berkaitan dengan harta mereka. Karenanya menurut ketiga ulama
ushul yang tersebut di atas, bahwa dalam kasus tersebut yang bertindak
membayarkan zakat pada harta mereka, mengambil nafkah untuk diri mereka dan
ganti rugi (dhaman) yang disebabkan
kelalaian mereka adalah wali mereka masing-masing.
Seperti halnya dalam kasus berikut:
http://id.berita.yahoo.com/anak-bunuh-ayah-karena-tidak-dibelikan-playstation-di-120538297.html
Permasalahan tersebut diatas tidak dapat kita salahkan pada anak yang masih berusia 4 tahun, namun telah melakukan pembunuhan, walaupun kasus tersebut lebih lanjut harus dilakukan penyidikan dan penyelidikan lebih lanjut dan mendalam.
Seperti yang telah ditegaskan bahwa landasan taklif adalah akal yang ditanamkan oleh Allah kepada diri manusia, yaitu akal yang kemampuannya tidak hanya memahami maksud kitab syar’i secara umum, melainkan juga harus secara terperinci. Sementara kitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab? Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan “adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nashab-nashab bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka”.
"Anak Bunuh Ayah karena Tidak Dibelikan PlayStation di Arab Saudi" bisa di klik:
Permasalahan tersebut diatas tidak dapat kita salahkan pada anak yang masih berusia 4 tahun, namun telah melakukan pembunuhan, walaupun kasus tersebut lebih lanjut harus dilakukan penyidikan dan penyelidikan lebih lanjut dan mendalam.
Seperti yang telah ditegaskan bahwa landasan taklif adalah akal yang ditanamkan oleh Allah kepada diri manusia, yaitu akal yang kemampuannya tidak hanya memahami maksud kitab syar’i secara umum, melainkan juga harus secara terperinci. Sementara kitab syar’i itu tersusun dalam bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab? Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan “adapun mereka yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa arab dan dapat memahami nashab-nashab bahasa arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan kedalam bahasa mereka”.
Itulah
sebabnya, dalam perspektif fiqh belajar bahasa Arab merupakan kewajiban yang
bersifat individu (wajib ‘aini) dan
kolektif (wajib kifayah), karena
bahasa Arab-lah satu-satunya yang menjadi wasilah
dalam memahami hukum-hukum Allah yang diwahyukan dalam bahasa Arab. Maka jika
kita diwajibkan atau di perintah menegakkan hukum-hukum Allah (tathbiiqu asy-syari’ah), maka tentu juga
kita di perintah untuk menegakkan sarana-sarananya, dan salah satu
suprastruktur fundamental penegakan hukum Allah adalah mempelajari dan memahami
bahasa Arab dengan baik. Terlebih lagi pada pemahaman yang ketiga ini, dimana
ada upaya sistematis dan tidak kenal lelah untuk memojokkan bahasa Arab dengan
melabelinya sebagai bahasa yang konservatif, ketinggalan jaman dan
predikat-predikat buruk lainnya. Sungguh kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
menjaga keagungan bahasa Arab ini. Qaidah ushul mengatakan“Sesuatu yang tidak
menjadi sempurna melainkan dengannya, maka dengannya itu juga wajib”
2. Mukallaf adalah haruslah ahli
(harus cakap dalm bertindak hukum)
Dengan
sesuatu yang dibebankan kepada seseorang berdasarkan konsep ini, maka seluruh
perbuatan orang yang belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka
semua amal mereka tidak dikategorikan sebagai delik hukum. Misalnya anak kecil
atau orang gila, karena pembahasan ahli lumayan panjang, maka akan kami bahas
secara terpisah dalam sub judul Konsep Dasar Ahliyyah yang secara etimologi, ahliyyah
maknanya adalah ash-shalahiyyah;
kepantasan atau kelayakan. Bila ada sesorang yang memilki kemampuan dalam satu
bidang maka dia dianggap ahli. Secara terminologi, para ahli ushul mendefinisikan
ahliyyah yakni:
”Suatu
sifat yang dimiliki sesorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan
ahliyyah
dengan
“kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban
dan menerima hak.”
Artinya orang itu pantas untuk menanggung
hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain dan pantas
melaksanakannya. Dari kedua definisi di atas, maka ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang itu telah
sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh aktivitas dan prilakunya
memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum. Pada tahap ini dia telah menjadi subyek
hukum yang harus bertanggung jawab secara independent terhadap amal
perbuatannya sendiri. Maka jika dia berzina, dia akan dirajam sampai meninggal
dunia, bila ia pezina mukhson (telah
dan pernah menikah). Bila ia melakukan aktivitas perniagaan, maka dianggap
shah.
Karena yang menjadi subyek hukum (muhkam alaih/mukallaf) adalah manusia,
sedang manusia terikat dengan hukum-hukum biologis yang telah didesain oleh
Allah Swt, maka kemampuan bertindak hukum seseorang tidak datang secara
sekaligus, melainkan secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai
tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bagian, yakni:
- Keahlian
wajib (Ahliyyatul al-wujub)
a. Keahlian
Wajib yang tidak sempurna.
b. Keahlian
wajib yang tidak sempurna
- Keahlian
Melaksanakan (ahliyyah al-ada’)
- Keahlian
wajib (Ahliyyatul al-wujub)
Keahlian
wajib Ahliyyatul al-wujub adalah
kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap
atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. misalnya ia telah berhak menerima
hibah, akan tetapi ia tidak sah memberikan hibah. Ia telah dianggap berhak
menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk menegakkannya
seperti sholat, zakat, maupun ibadah lainya. Kalaupun dia menunaikannya, semua
itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan dan pembiasaan karena itu ahliyyah al-wujub ini merupakan
kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali.
Keahlian wajib ini merupakan konsekuensi logis dari sifat kemanusiaan manusia
yang telah diberikan kemampuan memahami dan dianugrahi keunggulan kompetitif
(baca: akal) oleh Allah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Akal yang
ditanamkan itulah yang membuat manusia mendapatkan keistimewaan sehingga
memiliki kelayakan dan kepantasan (ash-shalahiyyah)
mendapatkan hak dan kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama fiqh disebu dengan adz-Dzimmah; yaitu sifat naluri manusia
yang dengan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk orang lain
pula. Maka keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, baik laki-laki, perempuan
janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai
maupun bodoh.
Tidak ada
manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena keahlian wajib merupakan
sifat kemanusiaannya. Berdasarkan konsep ini, maka seseorang yang baru lahir,
apabila ada orang yang berwasiat kepadanya, maka wasiat itu berhak ia terima.
Demikian juga dengan seorang bayi, lalu ayahnya wafat, maka ia berhak atas
pembagian warisan dari ayahnya. Hanya saja pengelolaannya tidak boleh dikelola
sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena mereka
belum dianggap cakap dan mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Jika keahlian
wajib ini hubungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua bagian,
yaitu:
a.
Keahlian Wajib yang belum sempurna.
Yaitu
mukhallaf layak mendapatkan hak
tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam
kandungan. Janin sudah dianggap memiliki Ahliyyatul
al-wujub, tetapi belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak keturunan dari
ayahnya, memperoleh bagian waris mendapatkan wasiat dan mendapatkan seperempat
yang ditujukan kepadanya namun dia tidak wajib melaksanakan kewajiban itu bagi
orang lain.
b.
Keahlian wajib yang tidak sempurna
Yaitu
jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini
berlaku bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya
masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara umum, baik
ia cakap atau tidak cakap. Perlu ditegaskan, bahwa dalam status keahlian wajib
(ahliyyatul al-wujub), baik yang
sempurna maupun yang tidak, seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang
bersifat ibadah maupun yang bersifat hukum-hukum duniawi. Namun demikian,
menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan yang
berkaitan dengan hukum perdata yang merugikan orang lain, maka mereka wajib
mempertanggungjawabkannya dengan memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri. Akan
tetapi jika perbuatannya berkaitan dengan tindak hukum pidana, seperti seorang
anak kecil yang melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum
anak kecil yang memiliki ahliyyatul wujub
tersebut, belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia belum dia
dianggap cakap bertindak hukum, sehingga hukumannya-pun cukup dengan dikenakan
diyat. Adapun bagi orang yang memiliki status ahliyyah al-ada’, apabila melakukan tindakan hukum perdata mapun
pidana, maka ia bertanggung jawab secara penuh. Ia bahkan bisa dikisahkan jika
membunuh nyawa manusia.
2.
Keahlian Melaksanakan (ahliyyah al-ada’)
Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknainya tentang keahlian melaksanakan adalah
kelayakan seorang mukhallaf agar
ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr.
Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu
seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang
lain karena perbuatannya.
Jadi,
keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana seorang mukhallaf telah dianggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di
hadapan hukum. Para ulama ushul telah
sepakat bahwa masa datanganya Ahliyyatul
al-ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usia taklif yang ditandai dengan akal dan baligh. Dalam hal ini mereka mendasarkan
pendapatnya dengan merujuk kepada surah an-Nisa’: 46
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka
harta-harta mereka”Menurut ulama ushul
fiqh, kalimat cukup umur dalam ayat ini merujuk pada pengertian seseorang
yang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria dan haid bagi
perempuan. Jadi Tolak ukur ahliyyah
al-ada’ adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pula lah ahliyyah ini, begitu sebaliknya. Manusia
sebagai subyek hukum, bila dikaitkan dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada
tiga bagian, yaitu:
a.
Terkadang tidak memiliki keahlian sama sekali dan keadaan ini dimilki oleh anak
kecil dan orang gila, karena keduanya belum memiliki, sehingga mereka belum
memiliki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan
implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakukan akad jual beli, akad mereka
dianggap batal. Maka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum
perdata maupun hukum pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat
harta, bukan pada fisiknya. Inilah makna aksioma yang dirumuskan oleh ahli fiqh
“Kesengajaan anak kecil atau orang gila termasuk keliru
b.
Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna
Keadaan ini terjadi pada bayi di usia tamyiz sampai dewasa termasuk orang yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk kondisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap sah melakukan pengeloloaan yang bermanfaat (possitif) untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya
Keadaan ini terjadi pada bayi di usia tamyiz sampai dewasa termasuk orang yang kurang akal, yang dimulai sekitar umur tujuh tahun. untuk kondisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap sah melakukan pengeloloaan yang bermanfaat (possitif) untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya
c.
Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang
baligh dan berakal sehat. Pada fase ini, seluruh aktivitas mukhallaf telah
memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja
dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah
dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama
sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam
surah an-Nisa’;
5.Penghalang
Keahlian (awarid al-ahliyyah) Karena
yang menjadi subyek hukum itu adalah manusia dimana alasan penetapan taklifnya
adalah adanya akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia dan kondisi mereka
yang telah balig. Akan tetapi karena manusia terikat dengan hukum-hukum
biologis yang telah digariskan oleh Allah, dimana mungkin saja, manusia itu
pada satu titik kehidupannya, akal mereka melemah, berkurang bahkan mungkin
menghilang, sehingga mereka kemudian dia dianggap tidak layak dan pantas
bertindak hukum. Disini kita menemukan sisi humanistik hukum Islam. Islam dalam
berbagai dimensinya sepanjang sejarah kemanusiaan, akan tetap sesuai dengan
fitrah dan kebutuhan manusia. Allah yang telah menciptakan kita, maka tentu
saja Dia pulalah yang lebih tentang kebutuhan kita.
Sesungguhnya
keadaan manusia yang demikian itu, terkadang menyebabkan mereka terhalang dari
aktivitas-aktivitas hukum. Para ulama ushul memabagi sifat pengalang itu kepada
dua bagian, yaitu:
1.
‘Arid Samawiy, yaitu halangan yang
datangnya dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan
dan
diusahakan oleh manusia, seperti gila
2.
‘Arid Kasbiy, yaitu halangan yang
disebabkan oleh manusia. Halangan ini ada sumbernya ada dua:
a. dari diri sendiri, yaitu mabuk,
alpa
b. dari orang lain seperti dipaksa
KESIMPULAN
& PENUTUP
Mahkum
alaih merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam
disiplin ilmu ushul fiqh. Dikatakan penting karena dalam pokok bahasannya
dijelaskan beberapa konsep penting dan fundamental yang terkait dengan
eksistensi manusiasebagai pelaku atau subyek hukum. Dalam konsep ini ditegaskan
posisi manusia di mata hukum. Ada dua syarat yang harus mereka miliki, sehingga
mereka baru dianggap sah melakukan aktivitas-aktivitas yang memiliki
implikasi-implikasi hukum. Konsep ini akan memberikan gagasan, ide dan
referensi bagi para mujtahid , fuqaha, dan dan para qadhi dalam menilai
aktivitas-aktivitas manusia. Manusia sebagai subyek hukum, dalam konsep ini
diperlakukan sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Konsep ini menegaskan bahwa
penerapan hukum Ilahi kepada manusia selalu disosialisasikan dengan selalu
melibatkan nilai-nilai intelektualitas manusia. Manusia senantiasa diajak
berdialog untuk memahami kehendak Ilahi dibalik semua hukum-hukum itu. Karena
itu Allah selalu menantang manusia untuk mencari adakah hukum selain hukum
Allah yang paling baik. Sesungguhnya norma-norma obyektif yang diturukan oleh
Allah tidak lain melainkan untuk kemaslahatan manusia. Akhirnnya hanya kepada
Allahllah kita serahkan segala urusan kita dan salah satu bentuk penyerahan itu
adalah kita senantiasa selalu damai dan bahagia diatur oleh hukum-hukum Allah.
Maha benar Allah dalam perkataannya “dan tiadaklah Aku mengutusmu hai Muhammad,
melainkan untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam”
Sumber
:
http://my-jazeerah.blogspot.com/2008/04/mahkum-alaihi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar