Oleh :
Aderiza Ayu Cahyarini, Devi Selviana, Herrera dan Rendo
Aderiza Ayu Cahyarini, Devi Selviana, Herrera dan Rendo
Rasulullah
bersabda, “Diharamkan dari saudara sesusuan segala sesuatu yang diharamkan dari
nasab”.HR. Bukhari dan Muslim
Saudara sepersusuan dilarang menikah, karena dasar
hukumnya dalam islam jelas tercantum dalam Al-Qur’an. Pengertian saudara
sepersusuan itu sendiri adalah seorang laki-laki dengan wanita yang tidak
mempunyai hubungan darah, tetapi pernah menyusu dengan Ibu (wanita) yang sama
dianggap telah mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan
menikah antara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Meskipun tidak ada
garis keturunan secara langsung, saudara sepersusuan tetap dilarang menikah.
Karena keduanya pernah menyusu pada orang yang sama, air susu itulah yang
kemudian menciptakan hubungan persaudaraan layaknya hubungan darah. Dasar
hukumnya dalam Al-Qur’an adalah Surat Annisa ayat 23, yang artinya :
saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Sesungguhnya
kekerabatan karena sesusuan ditetapkan dan dapat dipindahkan karena keturunan.
Penyebab yang diturunkan dan gen yang dipindahkan. maksudnya adalah bahwa
kekerabatan karena faktor sesusuan disebabkan karena adanya perpindahan gen
dari ASI orang yang menyusui kepada orang yang menyusui tersebut masuk, dan
bersatu dengan jaringan gen orang yang menyusui tersebut, atau ASI tersebut
memang mengandung lebih dari satu sel, dimana sel itu merupakan inti dari
kehidupan manusia. Sel itu sering disebut dengan DNA.
Disebabkan
organ sel pada orang yang menyusui itu menerima sel yang asing, sebab sel itu
tidak matur. Keadannya adalah keadaan percampuran dari berbagai sel, dimana
perkembangannya tidak akan sempurna kecuali setelah melewati beberapa bulan
atau beberapa tahun sejak kelahiran. Kalau penjelasan asal-mula penyebab adanya
kekerabatan karena hal ini, maka hal ini memiliki konsekuensi yang sangat
penting dan sangat menentukan.
Apakah Seorang Anak Boleh Menikahi
Ibu Tirinya Setelah Ayah Kandungnya Meninggal?
Dalam hukum islam
menikahi ibu tiri haram hukumnya. Hal ini dikarenakan menikahi ibu tiri
termasuk pada larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih
bersifat khusus atau istimewa. Dasar hukumnya ialah Surat Annisa ayat 22 yang
artinya:
"Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada
masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh)."
Lebih lanjut dalam surat an-Nisa: 23 disebutkan: “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keterangan yang
menceritakan tentang kebiasaan bahwa anak tiri itu ada dalam pemeliharaanmu.
Tujuannya untuk menegaskan bahwa anak tiri itu seperti anak sendiri sehingga
tidak boleh dinikahi. Jadi seorang anak tidaklah boleh menikahi ibu tirinya.Larangan
tersebut tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan keetegasan kata-kata
atau patunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji.
Boleh ditafsirkan dengan tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat
terkutuk sekali, sangat dibenci dan dimarahi Illahi seseorang laki-laki
menikahi wanita yang telah dinikahi oleh Bapaknya (Ibu tiriny). Menurut
pendapat ahli larangan ini ditujukan bukan saja perempuan yang masih daalam
hubungan perkawinan dengan Bapaknya maupun yang telah dicerai baik cerai hidup
maupun cerai mati.
Sebagaimana
kita ketahui, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
melarang Perkawinan antara dua orang yang:
a. berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman
susuan;
e.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah
Berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menerangkan bahwa :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a.
dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b.
dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c.
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a.
dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b.
dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c.
dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya
hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla
al dukhul;
d.
dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a.
dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b.
dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c.
dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d.
dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e.
dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar