TENTANG
PERATURAN
JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum
hak-hak atas tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria memerintahkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan
pendaftaran tanah;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran
tanah tersebut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah telah ditetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan
dijadikan dasar pendaftaran;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Akta Tanah perlu mengatur
jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan suatu Peraturan Pemerintah.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960
, tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985
tentang Rumah
Susun (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3318);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996
tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632);
5. Peraturan Pemerintah Nomor
4 Tahun 1988
tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3372);
6. Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya
disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2. PPAT Sementara adalah pejabat
Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan
Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas
PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program
atau tugas Pemerintah tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh
PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen
yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta,
akta asli, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat
lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan
dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum
PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah
yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas
tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang
bertanggungjawab dibidang agraria/pertanahan.
BAB
II
TUGAS
POKOK DAN KEWENANGAN PPAT
Pasal
2
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.jual beli;
b.tukar menukar;
c.hibah;
d.pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng);
e.pembagian hak bersama;
f.pemberian Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas tanah Hak Milik;
g.pemberian Hak Tanggungan;
h.pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan.
Pasal
3
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta
mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Pasal
4
(1) PPAT hanya berwenang membuat akta
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di
dalam daerah kerjanya.
(2) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke
dalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas
tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di
dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya
meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi
obyek perbuatan hukum dalam akta.
BAB
III
PENGANGKATAN
DAN PEMBERHENTIAN PPAT
Pasal
5
(1) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri.
(2) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja
tertentu.
(3) Untuk melayani masyarakat dalam
pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk
melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu,
Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau
PPAT Khusus:
a. Camat
atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup
terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala
Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam
rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani
pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas
sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Pasal
6
Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah:
a. berkewarganegaraan Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun;
c. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan
surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
d. belum pernah dihukum penjara karena
melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
e .sehat jasmani dan rohani;
f. lulusan program pendidikan spesialis
notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tinggi;
g. lulus ujian yang diselenggarakan oleh
Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
Pasal
7
(1) PPAT dapat merangkap jabatan sebagai
Notaris, Konsultan atau Penasihat Hukum.
(2) PPAT dilarang merangkap jabatan atau
profesi:
a.pengacara atau advokat;
b.pegawai negeri, atau pegawai Badan
Usaha Milik Negara/Daerah.
Pasal
8
(1) PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT
karena:
a. meninggal
dunia; atau
b. telah
mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun, atau
c. diangkat
dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan
tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada
daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. diberhentikan
oleh Menteri.
(2) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti
melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
Pasal
9
PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT karena diangkat
dan mengangkat sumpah jabatan Notaris di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang lain daripada daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf c dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II tempat kedudukannya sebagai Notaris, apabila formasi PPAT
untuk daerah kerja tersebut belum penuh.
Pasal
10
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a. permintaan
sendiri;
b. tidak
lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan
jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas
permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan
pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
d. diangkat
sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.
(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat
dari jabatannya, karena:
a. melakukan
pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi
hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang
diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
(3) Pemberhentian PPAT karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada
Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan
sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada
daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum
penuh.
Pasal
11
(1) PPAT dapat diberhentikan untuk sementara
dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai
terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai pada putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB
IV
DAERAH
KERJA PPAT
Pasal
12
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah
kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT
Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar
penunjuknya.
Pasal
13
(1) Apabila suatu wilayah
Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kotamadya semula harus memilih
salah satu wilayah Kabupaten/Kotamadya sebagai daerah kerjanya, dengan
ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka
mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-undang pembentukan
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II baru tersebut daerah kerja PPAT yang
bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kotamadya letak Kantor PPAT yang
bersangkutan.
(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang baru.
Pasal
14
(1) Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri.
(2) Apabila formasi PPAT untuk suatu daerah
kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup
untuk pengangkatan PPAT.
BAB
V
SUMPAH
JABATAN PPAT
Pasal
15
(1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan
PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan.
(2) PPAT Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf b tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.
(3) PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan
karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di
daerah kerjanya yang baru.
Pasal
16
(1) Untuk keperluan pengangkatan sumpah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 PPAT wajib melapor kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT.
(2) Apabila laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum.
(3) Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan
pengambilan sumpah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam waktu 1
(satu) bulan setelah diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), (2), dan (3) juga berlaku untuk Camat yang karena jabatannya ditunjuk
sebagai PPAT Sementara.
(5) Pengambilan sumpah jabatan sebagai PPAT
Sementara bagi Kepala Desa dilakukan oleh dan atas prakarsa Kepala Kantor
Pertanahan di Kantor Kepala Desa yang bersangkutan setelah Kepala Kantor
Pertanahan menerima tembusan penunjukan Kepala Desa tersebut sebagai PPAT
sementara.
Pasal
17
(1) Sumpah jabatan PPAT dan PPAT Sementara
dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh PPAT atau PPAT
Sementara yang bersangkutan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dan
para saksi.
(2) Bantuk, susunan kata-kata berita acara
pengambilan sumpah/janji diatur oleh Menteri.
Pasal
18
(1) PPAT atau PPAT Sementara yang belum
mengucapkan sumpah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilarang
menjalankan jabatannya sebagai PPAT.
(2) Apabila larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilanggar, maka akta yang dibuat tidak sah dan tidak dapat
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
BAB
VI
PELAKSANAAN
JABATAN PPAT
Pasal
19
Dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 PPAT wajib:
a. menyampaikan alamat kantornya, contoh
tanda tangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan;
b. melaksanakan jabatannya secara nyata.
Pasal
20
(1 )PPAT harus berkantor di satu kantor
dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT wajib memasang papan nama dan
menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
21
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor
urut yang berulang pada permulaan tahun takwim.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam
2 (dua) lembar yaitu:
a. lembar
pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan, dan
b. lembar
kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam
akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran,
atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat
diberikan salinannya.
Pasal
22
Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para
pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
Pasal
23
(1) PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT
sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis
lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua,
menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara
bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
(2) Di daerah kecamatan yang hanya terdapat
seorang PPAT yaitu PPAT Sementara dan di wilayah desa yang Kepala Desanya
ditunjuk sebagai PPAT Sementara, Wakil Camat atau Sekretaris Desa dapat membuat
akta untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
mengucapkan sumpah jabatan PPAT didepan PPAT Sementara yang bersangkutan.
Pasal
24
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pendaftaran tanah.
Pasal
25
(1) Setiap lembar akta PPAT asli yang
disimpan oleh PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) harus dijilid
sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir
dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta sisanya.
(2) Pasa sampul buku akta hasil penjilidan
akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan daftar akta di
dalamnya yang memuat lembar-lembar akta sisanya.
Pasal
26
(1) PPAT harus membuat satu buku daftar
untuk semua akta yang dibuatnya.
(2) Buku daftar akta PPAT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diisi setiap hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir
hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan.
(3) PPAT wajib mengirim laporan bulanan
mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Pertanahan dan
kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang
berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
Pasal
27
(1) PPAT yang berhenti menjabat karena
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, c, dan d,
diwajibkan menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT di daerah kerjanya.
(2) PPAT Sementara yang berhenti sebagai
PPAT Sementara menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT Sementara yang
menggantinya.
(3) PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT
Khusus menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT Khusus yang menggantikannya.
(4) Apabila tidak ada PPAT penerima protokol
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan (3), protokol PPAT diserahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Pasal
28
(1) Apabila PPAT meninggal dunia, salah
seorang ahli waris/keluarganya atau pegawainya wajib melaporkannya kepada
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak PPAT meninggal dunia.
(2) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya melaporkan meninggalnya PPAT berdasarkan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau karena pengetahuan yang diperoleh dari
sumber lain kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi
disertai usul penunjukan PPAT yang akan diserahi protokol PPAT yang meninggal
dunia.
(3) Ahli waris, keluarga terdekat atau pihak
yang menguasai protokol PPAT yang meninggal dunia wajib menyerahterimakan
protokol PPAT yang bersangkutan kepada PPAT yang ditunjuk Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
Pasal
29
(1) PPAT yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk menerima protokol yang
berhenti menjabat sebagai PPAT wajib menerima protokol PPAT tersebut.
(2) Serah terima protokol PPAT dituangkan
dalam berita acara serah terima protokol PPAT yang diketahui/disaksikan oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat.
Pasal
30
(1) PPAT dilarang meninggalkan kantornya
lebih dari 6 (enam) hari kerja berturut-turut kecuali dalam rangka menjalankan
cuti.
(2) Permohonan cuti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang yaitu:
a. Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat untuk permohonan cuti kurang
dari 3 (tiga) bulan;
b. Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk permohonan cuti lebih
dari 3 (tiga) bulan tetapi kurang dari 6 (enam) bulan;
c. Menteri
untuk permohonan cuti lebih dari 6 (enam) bulan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi PPAT Sementara dan PPAT Khusus.
Pasal
31
(1) Selama PPAT diberhentikan untuk sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau menjalani cuti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 tugas dan kewenangan PPAT dapat dilaksanakan oleh PPAT pengganti
atas permohonan PPAT yang bersangkutan.
(2) PPAT pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diusulkan oleh PPAT yang bersangkutan dan diangkat oleh pejabat yang
berwenang menetapkan pemberhentian sementara atau persetujuan cuti di dalam
keputusan mengenai pemberhentian sementara atau keputusan persetujuan cuti yang
bersangkutan serta diambil sumpahnya oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat.
(3) Persyaratan untuk menjadi PPAT pengganti
adalah telah lulus program pendidikan strata satu jurusan hukum dan telah
menjadi pegawai kantor PPAT yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 (dua)
tahun.
Pasal
32
(1) Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT
Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1 % (satu
persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
(2) PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan
jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.
(3) Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan
PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan diluar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) PPAT Khusus melaksanakan tugasnya tanpa
memungut biaya.
BAB
VII
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
33
Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas PPAT.
BAB
VIII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
34
(1) PPAT yang pada waktu berlakunya
Peraturan Pemerintah ini juga menjabat sebagai Notaris dengan tempat kedudukan
di luar daerah kerjanya sebagai PPAT berhenti dengan sendirinya sebagai PPAT 6
(enam) bulan sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2) PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diangkat menjadi PPAT di daerah letak tempat kedudukannya sebagai Notaris
apabila formasi PPAT untuk daerah tersebut masih tersedia.
(3) PPAT yang pada waktu berlakunya
Peraturan Pemerintah ini merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) berhenti dengan sendirinya dari jabatannya sebagai PPAT 3 (tiga) bulan
sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(4) PPAT yang pada saat berlakunya Peraturan
Pemerintah ini mempunyai daerah kerja yang melebihi wilayah kerja satu Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya wajib memilih satu wilayah kerja Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai daerah kerjanya dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dengan ketentuan
apabila dalam jangka waktu tersebut pilihan tersebut tidak dilakukan, maka
daerah kerja PPAT tersebut adalah wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya yang meliputi letak kantornya.
Pasal
35
Para calon PPAT yang sudah diuji sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah ini masih tetap dapat diangkat sebagai PPAT berdasarkan
ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Pasal
36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua
peraturan perundang-undangan mengenai jabatan PPAT yang telah ada tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
BAB
IX
PENUTUP
Pasal
37
Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah ini diatur oleh Menteri.
Pasal
38
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal
5 Maret 1998.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Maret 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA.
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 52
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
37 TAHUN 1998
TENTANG
PERATURAN
JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
UMUM
Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan dan
pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan
keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik
yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut, maupun mengenai
hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau data yuridis ini,
khususnya pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya,
peranan PPAT sangatlah penting. Menurut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak
atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta PPAT.
PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Di dalam
peraturan tersebut PPAT disebutkan sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta
yang bermaksud memindahkan hak atas tanah. memberikan hak baru atau membebankan
hak atas tanah.
Fungsi PPAT lebih ditegaskan lagi dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 19961,
yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas
tanah, pembebanan hak atas tanah, dan akta-akta lain yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan
dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan
dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Dalam meningkatkan sumber penerimaan negara dari pajak,
PPAT juga berperan besar karena mereka ditugaskan untuk memeriksa telah
dibayarnya Pajak Penghasilan (PPh) dari penghasilan akibat pemindahan hak atas
tanah dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebelum membuat akta.
Mengingat fungsi PPAT yang cukup besar dalam bidang
pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber penerimaan negara yang kemudian
akan merupakan pendorong untuk peningkatan pembangunan nasional, perlu segera
diterbitkan peraturan jabatan PPAT dalam bentuk Peraturan Pemerintah
sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 3
Ayat
(1)
Sesuai
dengan jabatan PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi
kedudukan sebagai akta otentik.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 4
Ayat
(1)
Pada
dasarnya PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah atau satuan rumah
susun yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali kalau ditentukan lain
menurut Pasal ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan aktanya
tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran.
Ayat
(2)
Pengecualian
yang dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan oleh PPAT tanpa izin terlebih
dahulu.
Pasal 5
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Sebagai
pejabat yang melaksanakan tugas di bidang pendaftaran tanah maka jabatan PPAT
selalu dikaitkan dengan suatu wilayah pendaftaran tanah tertentu yang menjadi
daerah kerjanya.
Ayat
(3)
Huruf
a
Karena fungsinya di bidang pendaftaran tanah yang penting
bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di
seluruh wilayah negara. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat
PPAT, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut.
Yang dimaksud dengan daerah yang belum cukup terdapat PPAT adalah daerah yang
jumlah PPATnya belum memenuhi jumlah formasi yang ditetapkan Menteri sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Di daerah yang sudah cukup
terdapat PPAT dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan PPAT baru, camat
yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara.
Berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada
masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan
apabila harus pergi ke Kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai
tanahnya, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas
PPAT.
Huruf
b
Program-program pelayanan masyarakat ini adalah misalnya
program pensertifikatan tanah yang memerlukan adanya akta PPAT terlebih dahulu
karena tanah yang bersangkutan belum atas nama pihak yang menguasainya.
Pekerjaan yang dilakukan oleh PPAT Khusus ini adalah pekerjaan pelayanan dan
karena itu pembuatan akta dimaksud tidak dipungut biaya.
Dalam praktek hubungan Internasional seringkali suatu
negara memberikan kemudahan kepada negara lain diberbagai bidang, termasuk di
bidang pertanahan. Atas dasar tersebut dipandang perlu ada ketentuan untuk
memberi kemungkinan Indonesia memberikan kemudahan yang sama di bidang
perubahan data pendaftaran hak atas tanah kepunyaan negara asing.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 6
Cukup
jelas
Pasal 7
Untuk
menjaga dan mencegah agar PPAT dalam menjalankan jabatannya tersebut tidak
menimbulkan akibat yang memberi kesan bahwa pejabat telah mengganggu
keseimbangan kepentingan para pihak.
Ketentuan
ini dibuat agar PPAT dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya demi melayani
kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak memihak.
Pasal 8
Ayat
(1)
Keadaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c menyebabkan PPAT yang bersangkutan
berhenti dengan sendirinya sebagai PPAT dan untuk itu tidak lagi diperlukan
keputusan pemberhentian. Yang bersangkutan tidak berhak lagi membuat akta.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 9
Karena pengangkatan PPAT dikaitkan
dengan suatu wilayah pendaftaran tanah, maka tidak dikenal istilah “pindah
daerah wilayah kerja”. Untuk melaksanakan tugas dengan daerah kerja yang lain
seorang PPAT berhenti sebagai PPAT di satu daerah kerja dan kemudian diangkat
kembali sebagai PPAT untuk daerah kerja lainnya. Untuk pengangkatan kembali ini
tidak diperlukan proses pengangkatan pertamanya sebagaimana diatur dalam Pasal
6.
Pasal 10
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Sebelum mengeluarkan keputusan
pemberhentian seorang PPAT karena pelanggaran Menteri mendengarkan pihak-pihak
yang bersangkutan.
Ayat
(4)
Lihat
Penjelasan Pasal 9.
Pasal 11
Ayat
(1)
Selama
diberhentikan untuk sementara pekerjaan PPAT dapat dilaksanakan oleh PPAT
pengganti.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 12
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 13
Ayat
(1)
PPAT
yang memilih daerah kerja yang tidak meliputi letak kantornya perlu memindahkan
kantornya ke dalam daerah kerjanya yang baru.
Ayat
(2)
Dalam
masa peralihan yang lamanya 1 (satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang
membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang terletak di wilayah Daerah Tingkat II yang baru maupun yang lama.
Pasal 14
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Dengan adanya penetapan formasi pada
suatu daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II akan dapat dibatasi
penempatan PPAT pada suatu daerah, sehingga daerah lain yang masih tersedia
lowongannya dapat diisi, dengan demikian tujuan pemerataan penempatan PPAT
dapat tercapai.
Pasal 15
Ayat
(1)
PPAT
yang pernah diambil sumpahnya dan kemudian berhenti untuk diangkat sebagai PPAT
untuk daerah yang baru juga harus mengangkat sumpah.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 16
Ayat
(4)
Camat yang sudah dilantik sebagai
Kepala Kecamatan dan sudah ditunjuk sebagai PPAT Sementara harus segera melaporkan
penunjukannya untuk diambil sumpahnya. Sebelum mengambil sumpah jabatan PPAT
yang bersangkutan belum berhak membuat akta.
Ayat
(5)
Karena
mengenai daerah terpencil, maka tidak bisa diharapkan seorang Kepala Desa untuk
melapor ke Kantor Pertanahan.
Pasal 17
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 18
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 19
Maksud dari penyerahan contoh tanda
tangan, paraf dan stempel jabatan PPAT, adalah agar pada Kantor Pertanahan
setempat tersedia pembanding jika terjadi perbedaan tanda tangan atau paraf
atau stempel, apabila perkara mengenai keabsahan akta PPAT yang bersangkutan.
Pasal 20
Ayat
(1)
PPAT
hanya boleh mempunyai 1 (satu) kantor yang terletak dalam daerah kerjanya.
Untuk
keperluan pelayanan masyarakat yang dapat menjangkau tempat yang jauh dari
Kantor PPAT, PPAT dapat melaksanakan jabatannya di luar kantor sepanjang masih
dalam daerah kerja PPAT.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 21
Ayat
(1)
Untuk memenuhi syarat otentiknya suatu
akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 22
Untuk pemenuhan sifat otentik dari
akta, pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT, Penandatanganan para pihak,
saksi dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah pembacaan akta dimaksud.
Pasal 23
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Untuk
memungkinkan orang-orang yang dimaksud pada ayat (1) melakukan transaksi
mengenai tanahnya perlu ditunjuk pejabat di kecamatan yang bersangkutan untuk membuatkan
akta yang diperlukan mengingat dalam daerah kecamatan itu tidak ada orang lain
yang berwenang membuat akta tersebut.
Khusus
untuk desa yang Kepala Desanya ditunjuk sebagai PPAT Sementara Sekretaris Desa
dapat membuatkan akta yang bersangkutan, walaupun Camat yang wilayahnya
meliputi desa itu dapat juga membuatkan akta tersebut.
Ketentuan
ini diadakan agar tidak mempersulit warga desa yang bersangkutan mengingat desa
yang Kepala Desanya ditunjuk sebagai PPAT Sementara merupakan desa yang benar-benar
terpencil letaknya.
Pasal 24
Ketentuan ini antara lain terdapat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 25
Cukup
jelas
Pasal 26
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Yang dimaksud dengan Undang-undang
atau Peraturan Pemerintah yang berlaku adalah misalnya Undang-undang atau
Peraturan Pemerintah di bidang perpajakan yang mewajibkan PPAT mengirim laporan
kepada instansi perpajakan.
Pasal 27
Ayat
(1)
Penyerahan
protokol ini diperlukan agar pemeliharaan warkah-warkah akta dapat berlanjut
sehingga apabila sewaktu-waktu diperlukan dapat segera ditemukan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 28
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 29
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 30
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud pada ayat ini dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja menerbitkan
surat persetujuan atau penolakannya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 31
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 32
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 33
Cukup
jelas
Pasal 34
Ayat
(1) dan ayat (2)
PPAT
harus melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya. Hal ini tidak akan secara
efektif dilakukan apabila PPAT tersebut juga merangkap menjabat sebagai Notaris
yang berkedudukan di luar daerah kerjanya sebagai PPAT.
Namun
demikian keadaan ini berlangsung pada waktu ini. Oleh karena itu keadaan ini
perlu segera dihentikan. Untuk itu diberi waktu 6 (enam) bulan. Dalam waktu
tersebut PPAT yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan berhenti dan
permohonan pengangkatan dengan daerah kerja yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai Notaris. Permohonan itu akan dipetimbangkan oleh Menteri apabila
formasi PPAT di daerah kerja yang meliputi kedudukannya sebagai Notaris masih
belum penuh.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Dengan
ketentuan ini, maka PPAT yang selama ini
mempunyai wilayah kerja lebih dari 1 (satu) wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini harus memilih salah satu wilayah kerja Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai wilayah kerjanya, misalnya PPAT di
lingkungan wilayah DKI Jakarta.
Pasal 35
Dengan ketentuan ini maka terhadap
calon PPAT yang sudah diuji sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dalam
pemrosesannya masih tetap mempergunakan ketentuan yang lama, namun apabila
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak dapat diselesaikan sepenuhnya berlaku
ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 36
Cukup
jelas
Pasal 37
Cukup
jelas
Pasal 38
Cukup
jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3746
1 komentar:
Saya OVERNI WARUWU , Mahasiswa StIH drama andigha, makasi sharenya , sngt bgus
Posting Komentar