Pages

Jumat, 06 November 2009

BAB I PENGERTIAN UMUM TENTANG PERIKATAN

Masalah Perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, Buku III ini terbagi atas 2 (dua) bagian, yakni:
A. Bagian Umum
B. Bagian Khusus


A. Bagian Umum
Diatur dalam Bab I – IV, yang berisi asas-asas umum yang mengatur Perikatan pada umumnya yaitu pengertian Perikatan, syarat-syarat sahnya Perikatan dan berakhirnya Perikatan.

B. Bagian Khusus
Diatur dalam Bab V – XVIII, yang berisi aturan-aturan yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus.
Antara kedua bagian tersebut terdapat hubungan yang sangat erat. Asas-asas pada bagian umum menguasai perjanjian-perjanjian yang diatur dalam bagian khusus. Artinya, perjanjian-perjanjian khusus itu dijiwai oleh asas-asas umum yang diatur dalam bagian umum.
Materi Buku III ini berasal dari Code Civil Perancis. Sekalipun demikian, KUHPer mempunyai sistematik yang berlaina. Buku III KUHPer hanya mengatur perihal Perikatan saja, sedang Buku III Code Civil Perancis mengatur bermacam-macam hukum, antara lain:
a. Hukum Waris;
b. Hukum Perikatan;
c. Hukum Harta Benda Perkawinan;
d. Hukum Perjanjian;
e. Hukum Pembuktian;
f. Gadai dan Hipotik;
g. Daluwarsa;
h. Perjanjian-perjanjian tertentu

1. Pengertian Perikatan
Undang-undang tidak memberikan pengertian tentang Perikatan. Oleh karena itu harus disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III itu sendiri. Dalam Buku III dapat disimpulkan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terletak di bidang hukum kekayaan yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas Prestasi sedangkan pihak yang lain wajib melaksanakan / memenuhi Prestasi tersebut.” Kalau diteliti dalam pengertian tersebut terkandung beberapa aspek.

a. Hukum
Jika perlu Prestasi yang diperjanjikan itu dapat dipaksakan realisasinya.

b. Hukum Kekayaan
Bahwa apa saja yang diperjanjikan menyangkut hal-hal yang dapat dinilai dengan uang.

c. Hubungan Antara
Hubungan antar orang yang satu dengan yang lain. Jadi, Perikatan itu menghubungkan dua pihak dalam suatu hubungan hukum, dimana bila perlu pihak yang satu dapat menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Jadi, mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang.

Hal ini yang membedakannya dengan “Hukum Kebendaan”, yang menghubungkan hubungan hukum antara orang denga benda, dalam arti orang tersebut menguasai benda tersebut. Hubungan Perikatan dinamakan hubungan yang bersifat perorangan dan hanya berlaku terhadap dua orang yang bersangkutan (sifat relative) dalam Perikatan tersebut. Hubungan kebendaan meletakkan hubungan antara orang dengan benda (sifat absolute), yakni dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang mengganggu.


2. Obyek Perikatan
Yang dimaksud dengan obyek Perikatan ialah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Obyek Perikatan dinamakan Prestasi Perikatan. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi dapat berupa:
a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu;
b. Kewajiban untuk berbuat sesuatu;
c. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu

Kewajiban untuk memberikan Sesuatu ialah kewajiban untuk memberikan hak milik / hak penguasaan atau hak memilki sesuatu. Kewajiban untuk berbuat sesuatu adalah Segala perbuatan yang bukan memberikan sesuatu, misalnya membangun gedung. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu adalah kewajiban yang menjanjikan untuk tidak berbua sesuatu yang telah diperjanjikan. Misalnya, pedagang bras A yang berjualan disebelah pedagang beras B berjanji untuk tidak menurunkan harga berasnya, yang dimaksudkan untuk menyainginya.


3. Syarat Sahnya Perikatan
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah:
a. Kesepakatan para pihak;
b. Kecakapan;
c. Hal Tertentu
d. Causa yang halal / sebab yang halal

Berdasarkan ketentuan tersebut, beberapa syarat untuk sahnya suatu Perikatan. Ialah:
a. Prestasi harus jelas
Batas antara hak dan kewajiban yang diperjanjikan kedua belah pihak harus jelas.

b. Prestasi harus halal
Tidak bertentangan dengan UU, norma kesusilaan dan ketertiban umum. Prestasi yang tidak memenuhi syarat tersebut akan batal.

c. Prestasi dapat dinilai dengan Uang
Biasanya mempunyai nilai ekonomis


4. Subyek Perikatan
Dalam perikatan, selalu ada 2 (dua) pihak, yakni:
a. Pihak yang berhak menuntut prestasi (kreditur);
b. Pihak yang wajib melaksanakan prestasi yang dijanjikan (debitur).


5. Schuld Dan Haftung
Schuld : Kewajiban untuk memenuhi prestasi Perikatan.
Haftung : Kewajiban untuk menjamin bahwa prestasi Perikatan tersebut
dapat diwujudkan.

Kedua kewajiban itu ada pada pihak Debitur. Pada pihak Kreditur terdapat hak untuk menuntut Prestasiyang dijanjikan. Misalnya, seseorang meminjam uang Rp 1 Juta kepada Bank. Maka berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang, pihak yang berutang (meminjam) wajib mengembalikan uang tersebut dan menyerahkannya kepada bank (schuld). Akan tetapi debitur masih mempunyai kewajiban menjamin bahwa uang pinjaman tersebut dapat dibayarkan yakni dengan memberi jaminan berupa harta kekayaannya (Pasal 1131 KUHPerdata). Pasal ini menyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitur harus diperuntukkan menjamin pengembalian pinjaman / hutangnya.
Pihak Kreditur berhak menuntut realisasi Prestasi yang diperjanjikan, berupa:
a. Mengajukan tuntutan di pengadilan untuk mendapatkan keputusan pengadilan yang menghukum debitur supaya memenuhi prestasi yang dijanjikan;
b. Minta debitur supaya dinyatakan pailit. Dengan pernyataan ini, maka harta kekayaan debitur disita guna memenuhi pelunasan hutang;
c. Mengamankan Prestasi dengan cara:
c.1. Penyitaan konservatoir guna menjaga harta kekayaan debitur tidak dipindahtangankan oleh debitur;
c.2. Permintaan pernyataan pailit, sehingga harta kekayaan debitur dapat disita sebagai jaminan pelunasan hutang.
6. Sumber Perikatan
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, ada 2 (dua) macam sumber Perikatan, yakni:
a. Perjanjian;
b. Undang-undang yang terdiri, atas:
1. Undang-undang saja
2. Undang-undang karena perbuatan orang, yang terbagi atas:
Contoh I : Bapak wajib memberi nafkah bagi isteri dan anak-
Anaknya.
Contoh II : Mengurus harta benda orang lain karena insiatif sendiri.
Contoh III : Merusak barang orang lain berkewajiban mengganti
(Pasal 1365KUHPerdata).
Terhadap kedua sumber Perikatan di atas terdapat kritik, bahwa sebenarnya hanya ada satu sumber saja yakni undang-undang saja. Sebab perjanjian tidak boleh dijadikan Sumber Perikatan oleh Undang-undang. Namun ada pendapat yang mempertahankan bahwa perjanjian itu sendiri sudah melahirkan Perikatan tanpa Undang-ndang. Sebab janji yang diucapkan pada orang lain, adalah sudah mengikat.


7. Pelaksanaan Perikatan
Perikatan yang sah harus dilakukan oleh para pihak yang mengadakan Perikatan. Kalau salah satu pihak mengingkari (tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan), maka pihak lawannya berhak menuntut realisasi Prestasi. Ingkar janji ini dalam Hukum Perikatan disebut “Wan-Prestasi”

8. Wan-Prestasi
Wan-Prestasi dapat berupa (pihak debitur)”
a. Tidak melaksanakan Prestasi sama sekali;
b. Terlambat melaksanakan Prestasi;
c. Melaksanakan suatu perbuatan tidak seperti yang diperjanjikan;
d. Melakukan perbuatan yang dilarang oleh Perjanjian.

Apabila terjadi Wan-Prestasi, maka pihak Kreditur dapat menuntut:
a. Pelaksanaan Prestasi;
b. Ganti rugi;
c. Pembatalan Perjanjian;
d. Pembatalan perjanjian dan ganti rugi.

Tuntutan Pelaksanaan Prestasi
Melakukan tuntutan di muka Pengadilan yang maksudnya untuk mendapatkan suatu keputusan Pengadilan yang menghukum Debitur yang lalai melaksanakan Prestasi yang dijanjikan. Putusan Pengadilan ini wajib dilaksanakan dengan sebenarnya sampai mendapatkan hasil sebagaimana diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang dinamakan EXECUTIE RIEL.

Perikatan untuk berbuat sesuatu
Sepanjang menyangkut Prestasi, berbuat sesuatu, maka Executie Riel ini diatur pada Pasal 1241 KUHPerdata. Misalnya si B wajib membangun gedung untuk si A. B ingkar janji dan hanya menyelesaikan sebagian gedung lalu berhenti. Timbullah Wan-Prestasi, si A dapat menuntut ke Pengadilan supaya B dihukum untuk melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan, atau kalau tidak maka Pengadilan dapat mengizinkan A untuk menunjuk pemborong lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut atas biaya B.

Perikatan untuk tidak berbuat
Dala hal debitur ingkar janji (Wan-Prestasi), maka Kreditur berhak meminta kepada hakim supaya apa yang dilakukan pihak Debitur yang telah melakukan hal-hal yang bertentang dengan perjanjian yakni dengan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1240 KUHPerdata).

Perikatan untuk memberikan sesuatu
Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang. Meski demikian dianggap bahwa pada perikatan ini Executie Riel dapat diwujudkan. Hal ini disebut Executie Riel langsung, karena yang terkena adalah para pihak yang bersangkutan dan prestasi secara langsung. Selain itu ada pula Executie Riel tidak langsung, yakni dengan menggunakan uang paksa (Pasal 606 KUHD??????) dan Penyanderaan (Pasal 209 HIR).

Uang Paksa
Misalnya A dan B memperjanjikan bahwa A wajib membangun gedung dalam waktu 2 (dua) tahun dengan ketentuan jika waktu tersebut dilewati, maka si A diwajibkan membayar uang paksa sebesar Rp X setiap bulannya. Hal ini dilaksanakan agar debitur (A) melaksanakan Prestasi tepat pada waktunya (Pasal 606 KUHD????)

Penyanderaan
Menahan tiap debitur dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan izin Pengadilan, yang maksudnya memaksa Debitur untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan. Misalnya: Debitur berhutang Rp 1 juta dengan ketentuan akan dilunasi dalam tempo 6 (enam) bulan. Jika jangka waktu ini telah lewat dan debitur melunasi hutangnya, maka Kreditur dapat meminta Pengadilan untuk memaksa Debitur melaksanakan pemenuhan perjanjian itu pada waktunya (Pasal 209 HIR).

Pengertian Wan-Prestasi dalam Bahasa Belandanya adalah : Prestasi yang buruk. Wan-Prestasi terjadi apabila pihak yang wajib melaksanakan Prestasi mengingkari janji. Ingkar janji ini menimbulkan kerugian bagi kreditur. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ini, debitur harus dinyatakan lalai. Dengan adanya pernyataan lalai ini Debitur harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh Wan-Prestasi.
Untuk mempertanggungjawabkan debitur terhadap kerugain karena Wan-Prestasi tersebut harus dipenuhi persyaratan; Debitur harus terlebih dahulu ditegur, yang berupa peringatan bahwa Debitur wajib melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan dengan memberikan jangka waktu yang cukup / pantas, kapan dia dapat melunasi. Teguran tersebut dinamakan SOMASI.

Permasalahannya: Apakah Somasi ini perlu dilaksanakan pada setiap bentuk
Wan-Prestasi?

Jawab :
a. Dalam hal tidak melaksanakan Prestasi sama sekali.
Dalam hubungan ini Somasi tidak diperlukan. Debitur langsung ditindak sebab sudah jelas debitur tidak akan melaksanakan Prestasi

b. Dalam hal terlambat melaksanakan Prestasi.
Dalam hal ini perlu Somasi, karena belum jelas apakah debitur akan melaksanakan Prestasi atau tidak. Somasi dibutuhkan untuk memberi waktu kepada Debitur untuk memenuhi Prestasi yang dijanjikan jangka waktu itu harus cukup untuk melaksanakan Prestasi, jadi tidak terlalu panjang atau terlalu pendek.

c. Dalam hal melaksanakan suatu perbuatan tidak seperti yang diperjanjikan.
Dalam hal ini tidak diperlukan Somasi, karena sudah jelas Debitur tidak melaksanakan Prestasi yang diperjanjikan.

d. Dalam hal melakukan perbuatan yang dilarang oleh Perjanjian.
Alam hal ini tak perlu Somasi, karena Debitur jelas berbuat melawan apa yang telah diperjanjikan.

5 komentar:

yulita mengatakan...

Ibuuu... terima kasih deeh atas bahannya... iqiqiqiqi....

Aini Maryani mengatakan...

Ibu... bahannya sangat membantu... trim's n success selalu..

Hukum dan Keanekaragaman mengatakan...

Terima kasih juga... senang akhirnya bisa memberikan sesuatu yang terbaik... rajin-rajin lihat blog saya dan sangat diperlukan sumbang beritanya juga.....

Aini Maryani mengatakan...

Hua... Pasti Bu saya bakal kasih-kasih info deh.. hehehe... *info apa yah..? hohoho..

sita mengatakan...

Assalamu alaikum wr. wb Ibu Irda,

Dalam pasal 1320 KUHPdt, salah satu syarat sah perjanjian adalah kecakapan.
Seseorang yang berada di bawah pengampuan karena ditetapkan pengadilan berperilaku boros dianggap tidak cakap melakukan perjanjian yang bersinggungan dengan perilaku borosnya.
Yang ingin saya tanyakan, apabila si pemboros membuat perjanjian hutang piutang dgn org yg tdk menyadari sama sekali perilaku borosnya dan sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berada di bawah pengampuan, apa yang dapat dilakukan oleh org yg menghutangkan uang kepada si pemboros tersebut, bila ternyata si pemboros tdk membayat hutangnya?
Bila dikatakan bahwa perjanjian itu tdk memenuhi syarat sah, apakah perjanjian itu batal sejak semula?
Mengingat si pemboros adalah org yg dapat berpikir dan bertindak logis, kecuali dlm pengendalian penggunaan uang, tentu saja status di bawah pengampuan-nya adalah sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh si pemberi hutang. Jadi Apakah ada argumentasi yang dapat diajukan oleh si pemberi hutang agar dapat menuntut si pemboros?