Pages

Jumat, 06 November 2009

BAB II GANTI RUGI

Peraturan mengenai “ganti rugi” diatur dalam 2 (dua) ketentuan dalam KUHPerdata, yakni:
1. Peraturan Ganti Rugi dalam hal Wan-Prestasi yang diatur pada Pasal 1246-1250 KUHPerdata
2. Peraturan Ganti Rugi dalam hal perbuatan melanggar hukum yang diatur pada Pasal 1365-1380 KUHPerdata.

Dalam hubungan tersebut, maka timbullah masalah : apakah peraturan ganti rugi dalam Wan-Prestasi dapat diterapkan dalam masalah ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum?

Jawabnya ialah bahwa adalah maksud UU mengatur bahwa masing-masing peraturan di atas berdiri sendiri, sehingga tidak ada sangkut pautnya satu sama lain.

A. PENGERTIAN
Ganti rugi ialah penggantian atas kerugian yang ditimbulkan karena terjadinya Wan-Prestasi.

B. MACAM KERUGIAN
Kerugian dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yakni:
1. Kerugian Materiil
2. Kerugian Inmateriil


1. Kerugian Materiil
Kerugian yang pada hakekatnya dapat dinilai dengan uang. Misalnya: mobil terbakar, kerugian dapat dinilai dengan uang, yaitu harga mobil tersebut.

2. Kerugian Inmateriil
Kerugian yang pada asasnya tidak dapat dinilai dengan uang. Misalnya seorang yang mendapat kecelakaan dan menjadi invalid (cacat seumur hidup). Keadaan tersebut sangat merugikan karena membuat orang itu menderita seumur hidup secara batin. Jadi, menderita rugi secara inmateriil.

Timbul permasalahan: Apakah kerugian inmateriil dapat diganti dengan uang?

Karena kerugian tersebut tidak dapat dinilai dengan uang. Maka, ada yang berpendapat tidak dapat diganti dengan uang. Sebaliknya ada yang berpendapat adalah mungkin diganti dengan uang.
Contoh lain, jika ada seseorang yang dihina, dan orang yang mendapat penghinaan itu dapat menuntut ganti rugi dengan uang. Hal tersebut sudah sering terjadi di Pengadilan dan Pengadilan mengabulkannya. Dalam kerugian inmateriil, pembayaran (ganti rugi) dengan uang bukanlah merupakan ganti rugi karena tidak dapat dinilai dengan uang, melainkan merupakan hukuman bagi orang yang berbuat.

Apakah kerugian yang baru akan datang dapat diganti?

Contohnya: A & B bersaing. Persaingan sedemikian rupa, sehingga A secara tidak jujur menang dan B dirugikan. Kerugian yang diderita B akan terus berlangsung selama belum dihentikan A. Dalam hal ini timbul kerugian yang akan berlangsung terus menerus. Apakah kerugian demikian dapat dituntut ganti rugi?, Pada dasarnya dapat dituntut ganti rugi, asal dapat dibuktikan bahwa kerugian yang timbul dimasa mendatang ada hubungannya (kausal) dengan perbuatan yang merugikan.


C. BENTUK GANTI RUGI
Ada 3 (tiga) macam bentuk ganti rugi, yakni:
a. Bentuk in natura
Misalnya: mobil rusak diganti dengan mobil baru.

b. Bentuk Surrogat
Misalnya: Sebuah benda yang rusak diganti dengan benda yang sejenis.

c. Bentuk Uang
Hal ini biasanya merupakan ganti rugi yang lazim dilakukan.

Apakah yang dapat diperhitungkan sebagai ganti rugi? Dalam Pasal 1246 – 1248 KUHPerdata ditentukan bahwa yang dapat diperhitungkan sebagai ganti rugi adalah:
a. Biaya / Coste
Semua biaya-biaya atau perongkossan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh salah satu pihak, yakni biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia tanpa hasil.

b. Kerugian / Schalde
Berkurangnya kualitas benda yang tersangkut dalam hubungan hukum. Kerugian dalam hal ini, adalah kerugian yang disebabkan kerusakan barang milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur

c. Bunga / Interested
Keuntungan yang diharapkan akan diperoleh tanpa tidak jadi karena pihak lain melakukan Wan-Prestasi. Kerugian yang berupa hilangnya suatu keuntungan yang sudah dibayangkan oleh kreditur yakni keuntungan yang akan diperoleh.

Untuk dapat menuntut ganti rugi harus dibuktikan adanya hubungan kausal antara Wan-Prestasi dengan kerugian yang timbul. Ketentuan ini menyangkut masalah kausalitas yang mempersoalkan apakah antara akibat dan perbuatan ada hubungan satu sama lain, dalam arti adanya akibat ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Ukuran yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan kausal ialah: karena undang-undang tidak mengatur hal ukuran ini, maka ilmu hukum harus mengusahakan ukuran tertentu ada tidaknya hubungan kausal antara akibat yang ada dengan perbuatan.

Contoh : Dua orang anak, yakni A & B berkelahi. A memukul B sehingga B
menderita luka ringan. Karena tergesa-gesa dan panik, ibu B
membersihkan luka itu dengan air kotor, karena terkena air kotor, B
terserang tetanus. Sedang dokter yang dipanggil tidak datang. Akibatnya
B meninggal.
Dalam kasus tersebut, apa yang menimbulkan meninggalnya B?
a. apakah akibat pukulan A ?
b. apakah akibat air kotor yang digunakan ibu?
c. apakah karena dokter yang tidak juga datang?

Untuk menjawab hal ini (masalah kausalitas) ada 2 (dua) teori dalam ilmu hukum, yakni:
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini menyatakan, bahwa setiap faktor yang ikut menimbulkan suatu akibat, merupakan sebab dari akibat itu. Jadi, dalam kasus di atas, maka si A, ibu dan dokter merupakan sebab dari kematian B. Namun terhadap teori ini ada kritik yang menyatakan bahwa jangkauan teori ini terlalu luas. Orang yang seharusnya tidak dapat dipersalahkan ikut menjadi sebab. Dalam kasus di atas A tidak bermaksud membunuh, sedang ibu yang bermaksud mengobati juga tidak ingin membunuh anaknya. Dokter yang seharusnya mengetahui bahwa penyakit tetanus cepat merenggut nyawa, tetapi ia tidak datang. Apa sebab tidak datang, hal ini masalah lain. Namun karena terlalu luas, maka dicari teori untuk mempersempit cakupannya, yakni mempersempit pengertian sebab.

2. Teori Adaequasi
Teori ini berusaha mengadakan penyempitan pengertian sebab dan menyatakan bahwa tidak semua faktor yang ikut menimbulkan akibat dianggap sebagai sebab. Yang dianggap sebagai sebab ialah faktor yang menurut pengalaman orang dianggap menentukan menimbulkan akibat. Dalam kasus tersebut, menurut teori ini penyebab yang menentukan bagi kematian B ialah dokter yang tidak datang.

Apakah semua kerugian yang timbul dapat dituntut penggantiannya? Menurut Pasal 1247-1248 KUHPerdata tidak semua kerugian yang timbul karena Wan-Prestasi mendapat penggantiannya. Kedua pasal itu memberikan batasan-batasan tertentu terhadap kemungkinan tuntutan ganti rugi.
Menurut Pasal 1247, yang dapat dituntut penggantiannya ialah kerugian yang diduga atau sepantasnya dapat diduga pada saat perjanjian dibuat. “Diduga” artinya dapat diperkirakan dan diperhitungkan pada saat perjanjian dibuat. “Sepantasnya dapat diduga” artinya dalam kenyataan kerugian sebenarnya tidak dapat diduga tapi mengingat hal-hal / keadaan yang meliputi perjanjian-perjanjian yang bersangkutan dapat dianggap bahwa kerugian sepantasnya dapat diduga / diperhitungkan.
Menurut Pasal 1248, yang dapat merupakan akibat langsung dari Wan-Prestasi, sedangkan yang bukan merupakan akibat langsung tidak dapat dituntut ganti rugi.
Contoh : A Menjual sapi kepada B. Ternyata yang dijual adalah sapi yang sakit. B
tidak mengetahui sehingga ia menempatkan sapi tersebut diantara sapi-sapi yang sehat. Karena ketularan dari sapi yang sakit, sapi-sapi itu semuanya mati. Dalam hal ini ada rentetan kerugian, yakni:
1. sapi tersebut sakit;
2. sapi-sapi lain ikut sakit kemudian mati.

Apakah dalam kasus tersebut dapat dituntut semua penggantian kerugian?

Menurut UU yang dapat dituntut penggantiannya hanyalah kerugian yang merupakan akibat langsung. Dalam hubungan di atas ialah diterimanya sapi yang sakit. Wan-Prestasinya ialah tidak menyerahkan sapi yang sehat. Dalam hal ini ada kemungkinan terjadi tindakan yang beritikad buruk. Jika hal ini terjadi, maka semua kerugian dapat dituntut penggantiannya, baik yang diduga maupun yang tidak dapat diduga.

Bagaimanakah halnya jika pihak kreditur yang membuat kesalahan ??

Contoh : Si A mendapat kecelakaan dan luka-luka akibat kecelakaan dengan B.
Meskipun luka-luka, namun A tidak segera ke rumah sakit, sehingga
lukanya menjadi parah dan memerlukan perawatan yang lama dengan
biaya yang lebih banyak. Jika terbukti si B yang bersalah, maka A dapat
menuntut ganti rugi kepada B. Tapi ganti rugi yang mana? Sebab,
sebagian adalah kesalahan A sendiri akibat penundaan pergi ke rumah
sakit.

Menurut pendapat lazim yang dianut, bahwa pihak Kreditur yang ikut bersalah harus ikut menanggung kerugian. Jadi, tidak dapat menuntut seluruh kerugian yang timbul.


D. BUNGA MORATOIR
Pada hakekatnya bunga moratoir adalah ganti rugi karena terjadinya Wan-Prestasi. Menurut Pasal 1250 KUHPerdata ini, sebagai ganti rugi bunga moratoir hanya wajib dibayar jika dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Perikatan dimana terjadinya Wan-Prestasi adalah Perikatan untuk menyerahkan sejumlah uang;
2. Wan-Prestasi yang berupa terlambatnya menyerahkan Prestasi.

Bila kedua syarat itu terpenuhi, bunga moratoir wajib dibayarkan. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka bunga moratoir tidak dapat diperlakukan. Bunga Moratoir diberlakukan dalam jumlah yang tetap, yakni 6% per tahun. Akan tetapi para pihak dapat menentukan lain (menyimpang) dengan mempertinggi / memperendah suku bunga. Bunga Moratoir diperhitungkan sejak saat tuntutan diajukan di muka pengadilan (jadi tidak pada saat kerugian terjadi).


Contoh : Diperjanjikan antara X dan Y, bahwa Y akan menyerahkan sapi tanggal
1 Mei, sebab pada waktu itu (X mengira) harga sapi akan
menguntungkan. Tapi sapi tak diserahkan pada tanggal 1 Mei melainkan
tanggal 1 Agustus. Pada saat itu harga sapi sudah turun. Karena
terlambat, X menderita rugi. X mengajukan tuntutan ke Pengadilan
tanggal 8 Juli. Karena dalam hal ini Bunga Moratoir dapat diberlakukan,
maka Bunga Moratoir dapat diberlakukan dan dihitung tanggal 8 Juli
tersebut. Jika bukan karena terlambat, maka Wan-Prestasi yang
diberlakukan adalah Pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata. Berdasarkan hal
itu dapat dibedakan 2 (dua) sanksi, yakni sanksi berdasar Pasal 1247 dan
1248, dan sanksi berdasar Pasal 1250 KUHPerdata.


E. BUNGA BERBUNGA
Mengenai hal Bunga Berbunga diatur pada Pasal 1251 dan 1252 KUHPerdata, kadang-kadang diperjanjikan antara dua pihak, bahwa perjanjian yang dibuat disamping membuahkan suatu bunga, juga bunga itu akan membuahkan bunga lagi, sehingga lambat laut perjanjian ini akan sangat memberatkan debitur.
Pada saat peraturan mengenai bunga berbunga ini dibuat, ada 2 (dua) aliran yakni:
1. Aliran yang menentang;
2. Aliran yang setuju

Hasilnya adalah bahwa peraturan bunga berbunga ini diperbolehkan, akan tetapi diberi batasan-batasan tertentu, yakni:
1. Berlakunya bunga berbunga harus diperjanjikan. Jadi, jika tidak maka bunga berbunga tidak akan berlaku;
2. Bahwa perhitungan bunga berbunga harus dilakukan setiap tahun.

Tidak ada komentar: