A. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
SBI sebagai alat kebijaksanaan moneter, yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1984 tentang Penerbitan SBI dan selanjutnya diatur lebih lanjut terakhir dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/52/Kep/Dir dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/30/UPUM, masing-masing tanggal 27 Oktober 1988 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia, yang antara lain menentukan:
a. SBI adalah surat pengakuan hutang dalam rupiah berjangka waktu pendek yang diterbitkan atas tunjuk dengan sistem diskonto. Jangka waktu SBI ditetapkan sesuai dengan kebutuhan.
b. SBI diterbitkan dengan denominasi Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar) sampai dengan Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
c. Penerbitan SBI dilakukan secara lelang baik harian atau mingguan
1). Lelang tetap mingguan yang dilakukan setiap hari Rabu atau hari kerja berikutnya apabila Rabu jatuh pada hari libur;
2). Lelang harian disesuaikan dengan kebutuhan pengendalian moneter;
Peserta lelang adalah Bank yang dapat bertindak baik untuk kepentingan sendiri, bank lain atau nasabahnya
d. Bank Indonesia dapat membeli kembali SBI yang beredar dan SBI yang telah dibeli kembali oleh Bank Indonesia dapat dijual kembali;
e. SBI dapat diperjualbelikan baik oleh bank atau masyarakat di pasar sekunder. Penyelesaian transaksi (settlement) jual beli SBI dapat dilakukan melalui perhitungan kliring;
f. SBI jatuh waktu dapat diuangkan pada semua kantor Bank Indonesia sejak hari jatuh waktunya, oleh Bank sebesar nilai nominal SBI yang bersangkutna. Masyarakat yang memiliki SBI dapat menguangkan SBI yang telah jatuh waktu melalui bank.
B. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
Sejalan dengan kebijaksanaan 1 Juni 1983, maka pengendalian moneter dititikberatkan pada pelaksanaan operasi pasar terbuka yang untuk itu diperlukan piranti antara lain berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Disamping untuk pelaksanaan operasi pasar terbuka, perdagangan SBPU dimaksudkan untuk mendorong pengembangan pasar uang dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dana, khususnya oleh bank.
Ketentuan mengenai SBPU ini terakhir diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/53/Kep/Dir dan Surat edaran Bank Indonesia No. 21/31/UPUM. Masing-masing tanggal 27 Oktober 1988 tentang Perdagangan Surat Berharga Pasar uang. SBPU ini diperlukan untuk lebih meningkatkan efektivitas pelaksanaan operasi pasar terbuka yang sejalan dengan kebijaksanaan 1 Juni 1983 untuk pengendalian moneter. Disamping tujuan tersebut, perdagangan SBPU juga dimaksudkan untuk mendorong pengembangan pasar uang dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dana, khususnya oleh bank
Menurut Pasal 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/53/KEP/DIR, SBPU adalah surat berharga jangka pendek dalam rupiah yang dapat diperjualbelikan secara diskonto dengan Bank Indonesia atau di pasar uang. Adapun SBPU dimaksud terdiri dari:
a. Surat Sanggup (aksep / promes) yang dapat berupa:
1). Surat sanggup (aksep / promes) yang diterbitkan oleh nasabah dalam rangka penerimaan kredit dari bank untuk membiayai kegiatan tertentu;
2). Surat sanggup (aksep / promes) yang diterbitkan oleh bank dalam rangka pinjaman antar bank
b. Surat Wesel yang dapat berupa:
1). Surat wesel yang ditarik oleh suatu pihak dan diaksep oleh pihak lain dalam rangka transaksi tertentu. Penarik dan/ atau tertarik adalah nasabah bank;
2). Surat Wesel yang ditarik oleh nasabah bank dan diaksep oleh bank dalam rangka pemberian kredit untuk pembiayaan kegiatan tertentu
c. Surat-surat berharga lainnya yang akan ditetapkan kemudian mengenai bentuk dan persyaratan formal yang harus dipenuhi Surat Berharga Pasar Uang. Ketentuan Bank Indonesia menunjuk kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu diantaranya:
1). Untuk surat sanggup harus memenuhi ketentuan Pasal 174 KUH Dagang tentang syarat-syarat formal suatu surat sanggup;
2). Untuk surat wesel harus memenuhi persyaratan formalnya yang diatur dalam Pasal 100 KUH Dagang.
SBPU harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Selanjutnya untuk memberikan kepercayaan bahwa SBPU mudah ditunaikan, maka penerbit harus mencantumkan pada SBPU hal-hal sebagai berikut:
a. Tempat pembayaran adalah bank yang bertindak sebagai endosan pertama (untuk warkat yang diterbitkan oleh nasabah) atau yang bertindak sebagai penerbit / akseptan (untuk warkat yang diterbitkannya)
b. Ketentuan “tanpa protes non pembayaran” dan “tanpa biaya” atau ketentuan lain yang sama maksudnya (untuk surat sanggup), dan “tanpa protes non akseptasi”, “tanpa protes non pembayaran” dan “tanpa biaya” atau ketentuan lain yang sama maksudnya (untuk wesel).
Ketentuan di atas merupakan realisasi dari pasal 145 KUH Dagang. Dengan adanya klausula seperti yang disebutkan maka berartimembebaskan penerima pemegang surat berharga tersebut dari kewajiban untuk membuat proites non akseptasi dan protes non pembayaran untuk melaksanakan hak regresnya. Sebagaimana diketahui sesuai dengan Pasal 143 KUH Dagang protes merupakan persyaratan untuk dapat melaksanakan hak regres dari penerima / pemegang apabila tertarik melakukan penolakan akseptasi atau penolakan pembayaran. Untuk melakukan protes tersebut tentu memerlukan waktu dan biaya. Berkaitan dengan hal tersebut maka dengan mencantumkanklausula-klausula yang diperkenankan oleh Pasal 145 KUH Dagang akan mempercepat penerima / pemegang SBPU memperoleh pembayran.
Adapun SBPU yang digunakan dalam rangka operasi pasar terbuka adalah SBPU yang:
a. berjangka waktu minimal 30 hari;
b. nilai nominal sekurang-kurangnya Rp 25 juta dan untuk jumlah diatasnya dibuat atas dasar kelipatan Rp 5 juta dengan maksimum Rp. 10.000 juta;
c. tidak diterbitkan dalam rangka kredit yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia;
d. terlebih dahulu telah dibubuhi endosemen oleh bank.
Jadi, terdapat 2 jenis SBPU ialah sebagai jaminan untuk pelaksanaan kredit (dari bank / nasabah) dan yang digunakan dalam operasi pasar terbuka. Sebaiknya untuk SBPU jenis yang pertama transaksinya tidak melalui operasi pasar terbuka mengingat fungsinya lain dan jangka waktunya panjang.
C. Sertifikat Deposito
1. Pengertian
Sertifikat Deposito dapat berupa surat yang bersifat negotiable ataupun surat yang bersifat non negotiable., sedangkan menurut Marcia Stigum dalam bukunya Money Market yang dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa CD bersifat negotiable. Instrumen ini mempunyai masa berlaku lebih dari 14 hari, dan beberapa diantaranya sampai 5 tahun bahkan 7 tahun. Namun demikian pada umumnya CD mempunyai masa berlaku antara 1 sampai dengan 6 bulan.
Dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 21/48/KEP/DIR tertanggal 27 Oktober 1988 serta Surat edaran Bank Indonesia No. 21/27/UPG tertanggal 27 Oktober 1989 dapat diketahui pula pengertian Serifikat Deposito, yaitu surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang merupakan surat pengakuan hutang dari bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan dapat diperjualbelikan dalam pasar uang. Menurut Pasal 1 butir 9 Undang-undang No. 7 Tahun 1992, yang disebut sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 8 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpanan dengan bank yang bersangkutan.. Maka, dapat disimpulkan dari pengertian tersebut bahwa CD di Indonesia bersifat negotiable.
Pada dasarnya CD merupakan suatu surat hutang untuk suatu jangka waktu tertentu dan setelah jatuh tempo bank yang bersangkutan wajib melunasi kepada pemegangnya sejumlah nilai nominalnya.. Adapun bunga sertifikat deposito dibayar di muka, yakni dipotong dari harga nominalnya pada waktu pengambilan CD dimaksud.
2. Beberapa Sifat Sertifikat Deposito
Dari pengertian yang telah dikemukakan maka dapat diketahui beberapa sifat umum dari sertifikat deposito yang dikelaurkan di Indonesia, yaitu antara lain:
a. Pada dasarnya merupakan surat sanggup (promissory note) yang dikeluarkan oleh bank;
b. Berbentuk atas unjuk (aan toonder)_ dan tidak ada yang berbentuk atas nama (op naam) atau atas tunjuk / atas pengganti (aan order);
c. Karena bentuknya atas unjuk (aan toonder) maka dapat diperdagangkan;
d. Sesuai dengan bentuknya seperti di atas maka pengalihannya mudah / sederhana, yaitu pengalihan di bawah tangan (dari tangan ke tangan);
e. Memperhatikan bentuk sertifikat deposito yang demikian, maka berbeda dari deposito berjangka yang bentuknya atas nama (op naam) sehingga tidak dapat diperdagangkan;
f. Terikat kepada suatu jangka waktu tertentu;
g. Dapat dijadikan jaminan suatu perjanjian kredit;
h. Tidak dilakukan pengusutan fiscal terhadap asal usul uang pembeliannya;
i. Sebagai halnya pihak yang mempunyai hutang, maka bank sebagai debitur menjamin pengeluaran sertifikat deposito dengan seluruh harta kekayaannya (sesuai Pasal 1131 KUH Perdata);
j. Dibebaskan dari pajak atas bunga, deviden dn royalty (PBDR).
Mengenai surat berharga ini, Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 7 Tahun 1982 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagngkan. Sebagai surat uang dapat diperdagangkan dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang tunai, maka dalam bidang surat berharga dikenal 2 jenis klausula yaitu:
a. atas bawa (aan toonder, to bearer) yang berarti surat sanggup dapat dialihkan dari tangan ke tangan dengan hanya menyerahkan surat berharga tersebut;
b. atas tunjuk (aan order, to order), yang berarrti surat berharga hanya dapat dialihkan kepada orang yang ditunjuk sebagai pengganti dari orang disebut namanya pada surat berharga itu dengan cara endosemen dan menyerahkan surat sanggup tersebut.
Sertifikat deposito yang diterbitkan “atas bawa” ini merupakan piranti pasar uang bersama-sama dengan Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar uang.
D. Traveller’s Cheque (TC)
Traveller’s Cheque (TC) adalah surat berharga yang berfungsi seperti uang tunai, yang isinya menyatakan kesanggupan bank penerbit untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang bertanda tangan tertera dalam TC. TC digunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan di dalam negeri atau ke luar negeri, mengingat faktor keamanan yang ada pada TC, antara lain bila TC hilang pembeli / pemegang akan memperoleh ganti dengan melapor ke bank penerbit atau agen-agennya yang dibuktikan dengan bukti pembelian TC.
TC diterbitkan dalam bermacam-macam mata uang misalnya dalam mata uang Dollar ataupun Rupiah dengan beberapa kopor. Setiap orang yang membeli TC akan mendapatkan suatu surat tanda bukti pembelian yang disebut PA (Purchase Agreement) yang ditandatangani pula oleh pembeli. PA ini penyimpanannya harus dipisahkan dari TC, agar bila TC hilang atau dicuri, adanya PA dapat memberikan keyakinan kepada bank penerbit bahwa pemegang PA adalah benar-benar pembali TC yang hilang atau dicuri, sehingga akan mendapat penggantian.
Disamping itu, faktor keamanan lainnya dari TC yaitu bahwa pada setiap TC terdapat dua tempat tanda tangan bagi pembeli / pemegnag, yang maksudnya untuk tanda tangan pada waktu membeli TC dan pada waktu menguangkan TC atau membeli barang. Dengan demikian tanda tangan pertama harus sama dengan tanda tangan kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar