Oleh:
IMAM NUGROHO
(Mahasiswa Fak Hukum Univ. Indonusa Esa Unggul)
Jakarta – Dewi persik yang kita kenal sebagai artis yang controversial, lagi lagi membuat kita terperangah. Semula artis yang pernah menjalin kisah dengan Saiful Jamil namun tidak dapat mempertahankan bahtera rumah tangganya dengan baik akhirnya menemui jalan buntu yang berujung pada perceraian. Semua itu seolah dianggap ringan oleh Dewi Persik, seiring berjalannya waktu artis yang kita kenal dengan goyangan dangdutnya yang hot itu ternyata terpaut dengan sesosok artis muda lainnya. Ya Aldi Taher, dialah yang sekarang menjadi pasangan Dewi Persik. Akhirnya Dewi dan Aldi pun melangsungkan pernikahan di Jember. Mereka mengambil jalan nikah siri, entah kenapa dan apa alasan mereka berdua melakukan nikah siri. Dibalik semua itu ternyata bahtera rumah tangga Dewi masih tetp mengalami kesulitan untuk menjaga agar tetap berjalan mulus. Akhirnya Aldi Taher sebagai suami Dewi mengajukan permohonan talak terhadap Dewi melalui pengadilan agama.
Tetapi permohonan itu tidak begitu saja langsung Aldi terima, ada hal lain yang harus dilakukan karena pernikahan siri mereka berdua. “Pernikahan diresmikan dahulu (isbat), baru cerai. Memang membutuhkan waktu lama karena melalui proses panjang. Kalau domisili sama-sama di Jakarta Barat akan singkat prosesnya. Dalam kasus ini kita harus minta izin kepada yuridiksi setempat,”jelas humas PA Jakarta Barat, Muhidin, Rabu (30/9/2009). Patut diketahui , Aldi mengajukan permohonan talak kepada Dewi dengan nomor perkara 1003/PDT.G/2009/PAJB. Aldi mengajukan talak terhadap Dewi yang berdomisilin di Jakarta Barat. Sedangkan, dirinya berdomisili di Jakarta Pusat. Perbedaan lokasi rumah itulah yang menjadikan proses perceraian keduanya agak panjang. “Kalau yang normal, dua minggu setelah memasukan gugatan bisa langsung sidang cerai. Kalau yang ini, sepertinya makan waktu agak lama,”imbuh Muhidin. Perihal pernikahan siri yang bias bercerai melalui pengadilan agama, menurut Muhidin, itu diatur dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Demi kepentingan cerai, itu bisa,”ucapnya.
Dasar Hukum Nikah Siri
Nikah siri yang dikenal oleh masyarakat seperti kasus yang telah diterangkan tadi muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana UU No 1 tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan : perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :
Pasal 2 :
Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah ALLAH dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 :
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4 :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakuakn menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5 :
(1) Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang – Undang No. 32 Tahun 7954
Pasal 6 :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
(2) Perkawinan yang dilakuakn diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP No.9 tahun 1975 mengatur tentang tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan : “Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam ayat (3) disebutkan : “Dengan mengidahkan tatacara perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 11 : (1) Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 PP ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat nikah yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam pasal 13 siatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu : Akta perkawinan dibuat dalam rangkap dua (helai), helai pertama disimapan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada. Kepada suami isteri masing-masing diberi kutipan akta perkawinan.
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakuakn akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundang direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh pegawai pencatat, seperti yang diatur dalam pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatattnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”.
Atas dasar pertimbangan diatas, maka bagi masyarakat, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah talak dan rujuk di dalam pasal 3 ayat (1) menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (pegawai pencatat nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat (2) menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.100,- (seratus rupiah). Oleh karena itu, apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Pembahasan Tentang Akibat-Akibat Nikah Siri
Sebelum kita membahas lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah nikah siri itu. Dengan begitu akan lebih mudah untuk menagkap isi dari pembahasan. Istilah nikah siri atau yang biasa disebut nikah dibawah tangan atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal dikalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan yang memenuhi unsure-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun nikah dalam bentuk walimatul-‘ursy atau dalam bentuk yang lain.
Nikah siri atau nikah bawah tangan ini cukup banyak diperbincangkan sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai nikah siri. Pendapat pertama yaitu nikah siri adalah nikah sembunyi-sembunyi, padahal menurut ajaran agama islam, Rasulullah mememrintahkan “awlim walau bi syatin” (umumkanlah pernikahanmu walau kau hanya memotong seekor anak domban kecil), menikah siri adalah menikah yang tidak dicatat di KUA, padahal ajaran islam menaati Allah, Rasul dan pemerintah adalah suatu kewajiban. Pendapat kedua, nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan dikator KUA bagi yang beragama islam, kantor catatan sipil bagi non muslim. Menurt Prof. Dr. Dadang Hawari (psikiater dan ulama) berpendapat bahwa “Telah terjadi upaya mengakali pernikahan dari sebuah prosesi agung menjadi ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia”, ia menilai pernikahan siri saat ini banyak dilakuakn sebagai upaya legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih, sehingga menurutnya pernikahan siri itu sah.
Dari tiga pendapat temtang nikah siri tersebut maka dapat didefinisikan bahwa nikah siri saat ini adalah nikah yang dalam prakteknya tidak dilaksanakan sebagaimana diajarkan dalam agama islam yang mana harus turut mematuhi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh pemerintah yaitu setelah menikah secara agama atau adat harus pula dilakukan pencatatan di catatan sipil atau KUA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 (2) dan sebagaimana disinggung dalam kompilasi hukum islam (Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991 pasal 17 ayat 1), sehingga saat ini nikah siri menjadi suatu pernikahan yang tidak sah secara agama maupun hukum di Indonesia. Alasan dari definisi sesuai rukun dan syarat yang sahnya, sebab lain halnya jika sampai saat ini hukum yang berlaku di Indonesia hanya hukum islam yang ada, maka bagi siapapun yang menikah siri tidak akan mengalami kesulitan, karena tidak perlu diadakan pencatatan. Berhubung saat ini telah berlangsung ketentuan pemerintah yang juga telah disepakati oleh masyarakatnya, makan ketentuan tersebut wajib ditaati oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maju dalam suatu Negara hukum.
Ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan dari keadaan yang sudah ada. Yang paling mencolok adalah fenomena salah tanggap atau salah kaprah dalam menyikapi persoalan nikah siri yang teryata sudah berkembang sedemikian rupa. Salah kaprah yang dimaksud disini adalah bahwa nikah siri diasumsikan sebagai sebuah jalan pintas untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan begitu pastilah ada faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan nikah siri. Dengan mengetahui faktor-faktornya akan dapat mengurangi penyalahgunaan nikah siri.
Faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan siri antara lain :
Faktor kesadaran hukum, maksudnya adalah kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan peryataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk memcatatkan perkawinan sebaimana yang telah ditentukan dalam pasal 2 (2) UU No.1 tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang , serta pola pikir yang dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Faktor agama, dengan mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama islam oleh masyarakat yang beragama islam. Sehingga beberapa orang yang beragama islam tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama islam, pencatatan nikah itu diharuskan karena pernikahan termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian hutang piutang.
Faktor ekonomi, factor ini juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah siri tetapi tidak menjadi factor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin. Maka mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak.
Dengan adanya faktor-faktor tersebutlah tindakan untuk melakukan nikah siri makin marak dijumpai, baik dari kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alas an lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulakan akibat melakukan praktek nikah siri mungkin mereka akan segan untuk melakukannya. Karena akibat yang ditimbulkan nanti kedepannya akan merepotkan diri sendiri.
Jika ada seorang perempuan yang kemudian diajak menikah siri oleh seorang laki-laki, yang ada dibenaknya hanyalah pemikiran tentang hal yang indah-indah saja tanpa ada pemikiran panjang akan akibat kedepannya. Jika mereka dikaruniai seorang anak, maka dengan otomatis status anak tersebut menjadi persoalan. Apakah dia menjadi anak sah atau tidak. Mengapa demikian, karena dalam hal ini anak tidak memsapatkan akta kelahiran mengingat kedua orangtuanya melakukan nikah siri yang sah secara agama tetapi belum sah dimata hukum karena tidak tercatat di KUA . Maka dengan begitu anaklah yang menjadi korban, status anak tidak diakui oleh Negara.
Apabila dikemudian hari pasangan suami isteri tersebut bercerai, maka cara bercerai merka berbeda denganan pernikahan yang dilakukan secara sah dimata hukum atau yang dicatatatkan di KUA. Cara perceraian pernikahan siri adalah apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada isteri maka dengan begitu sudah sahlah perceraian mereka dan dengan adayan perceraian tersebut isteri tidah berhak menuntut harta gono-gini atau apapun yang telah didapat selama perkawinan berlangsung. Karena dalam hal ini si isteri dianggap orang lain meskipun secara agama telah diakui sebagai isteri tetapi secara hukum tidak dapat dianggap sebagai isteri yang sah.
Dengan begitu dapat diambil kesimpulan apa saja akibat dari melakukan nikah siri untuk suami, isteri, dan anak.
Akibat bagi pihak isteri / wanita :
-tidak diakuinya sebagai isteri yang sah
-tidak berhak atas nafkah dari suami
-tidak berhak mendapat warisan suami jika telah meniggal
-tidak berhak atas harta gono-gini bila terjadi perceraian, karena secara hukum positif, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi
Dalam hal ini pihak wanita memang paling banyak meneriman kerugian bila melakukan pernikahan siri, belum lagi nantinya wanita tersebut akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Karena pandangan umum masyarakat menilai bahwa ia telah tinggal dengan laki-laki diluar nikah atau sebagai isteri simpanan.
Akibat bagi anak :
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehingga dimata hukum tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tetapi hanya meiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari ibunya saja (pasal 42 dan 43 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 100 KHI). Didalam akte kelahirannyapun status anak tersebut dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumkannya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis si anak dan ibunya. Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan ketidak jelasan status anak dimata hukum, sehingga sewaktu-waktu si ayah akan menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Akibat bagi suami / laki-laki :
Sebenarnya hampir tidak ada kerugian yang didapat oleh pihak laki-laki, bagi laki-laki yang melakukan nikah siri cenderung mendapat keuntungan sebab ia dapat bebas untuk menikah lagi karena pernikahan sirinya yang sebelumnya dianggap tidak sah dimata hukum. Ia juga dapat menghindar dari kewajibanya member nafkah untuk anak dan isterinya dari nikah siri tersebut, dan tidak akan pusing memikirkan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain. Meski sebagian memiliki keyakinan atau penyelesaian secara agama atau adat, namun tetap saja sebagai warga yang bernegara pihak yang dirugikan dalam nikah siri ini seperti pihak wanita yang menikah siri tidak memiliki kekuatan hukum apabila terjadi sengketa perdata pada pernikahannya tersebut.
Setelah kita mengetahui akibat dari melakukan praktek nikah siri, bahwasanya sebagai kaum hawa dan sebagai masyarakat yang sadar hukum dan hidup dinegara hukum, maka alangkah baiknya mentaati peraturan yang ada apalagi mengenai perkawinan yang bersifat sakral. Karena ada sebuah kata yang patut menjadi motivasi dalam menjalani kehidupan bernegara, kata-katanya adalah “jalanilah hidup dengan mentaatti setiap peraturan karena hidup akan nikmat”. Itu adalah pandanga dari segi hukum, dengan adanya kata-kata tersebut kita dihimbau untuk selalu jaga diri agar tidak terjerat hukum dengan mematuhinya.
Kesimpulan
Dengan dibuatnya pembahasan tentang akibat dari dilakukannya nikah siri ini, maka dalam hal ini dapat ditarik sesuatu atau beberapa kesimpulan, antara lain :
-mengetahui pentingnya pencatatan nikah, yang pertama dengan adanya akta nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili. Selain itu dalam syariah islam ketetapan seorang anak sah hanya dapat dilakukan dengan ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka pencatatan nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan masalah.
-pernikahan siri yang dilakukan oleh beberapa masyarakat di Indonesia saat ini adalah merupakan pernikahan yang tidak sah dimata hukum yang berlaku di Indonesia. Dikarenakan pernikahan tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan kompilasi hukum islam
-terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan terjadinya pernikahan siri tersebut yaitu faktor kesadaran masyarakat akan hukum, faktor agama, dan faktor ekonomi.
-suatu pernikahan sirri yang telah terjadi hanya dimungkinkan dapat terselesaikan dengan melakukan pernikahan ulang dan apbila pernikahan tersebut ingin diakhiri maka dapat dilakukan isbat nikah bagi yang beragama islam sedangkan bagi yang non muslim dapat melakukan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan ke catatan sipil.
Saran
Untuk yang ingin melangsungkan nikah siri sebaiknya dan alangkah baiknya sebelum pernikahan tersebut berlangsung dipikirkan terlebih dahulu akibat-akibat yang timbul apabila menikah secara siri khususnya bagi wanita. Meskipun di era sekarang ini sudah menjadi hal yang tidak aneh lagi dan banyak sekali dilakukan oleh kalangan tertenru dengan berbagai macam alasan, meskipun begitu janganlah alasan tersebut menjadi patokan untuk melakukan nikah secara siri.
Bila telah terlanjur nikah siri dilakukan, solusi apa yang tepat dan dapat ditawarkan? Pasal 39 ayat (4) Permenag No. 3 Tahun 1975 menyatakan jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai maupun rujuk harus dibuktikan dengan keputusan (dalam arti penetapan) pengadilan agama, akan tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahanyang dilaksanakan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya. Ketentuan ini membrikan peluang bagi para pihak untuk melakukan isbat nikah. Pasal 7 KHI telah memperluas eksistensi lembaga isbat nikah.
Sehingga ada beberapa solusi untu yang telah melakukan nikah siri, pertama bagi yang beragama islam dapat mencatatkan pernikahannya dengan isbat nikah. Namun hanya dimungkinkan isbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan isbat dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya memiliki akta nikah dari pejabat berwenang. Yang kedua adalah melakukan pernikahan ulang, usaha ini dilakukan sebagaimana perkawinan menurut ajaran agama islam yang kemudian disertai dengan pencatatan di KUA. Namun tidak berlaku surut bagi anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan siri (sebelum pernikahan ulang). Sedangkan bagi yang non muslim dapat melakukan pernikahan ulang dan pencatatan perkawinan, perkawinan ulang dapat dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut, dan setelah itu maka dilakukan pencatatan ke kantor catatan sipil. Jika kantor catatan sipil menolak menerima pencatatan itu maka dapat digugat ke PTUN.
Daftar pustaka
www. kuapasarminggu.blogspot.com
www. konsultasi.wordpress.com
Pendapat dari berbagai kalangan masyarakat mengenai akibat hukum nikah siri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar