TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan
bagi setiap warga negara yang merupakan sarana peran serta dalam
pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan nasional;
- bahwa sistem perpajakan yang
merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini
berlaku tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan
sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotong-royongan nasional
maupun dalam laju pembangunan yang telah tercapai;
- bahwa sistem perpajakan,
khususnya yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung
yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan
pengusaha kena pajak dalam meningkatkan pendapatan negara yang sangat
diperlukan guna mewujudkan kelangsungan pembiayaan negara dan kelangsungan
pembangunan yang berdasarkan pada asas-asas pembangunan nasional;
- bahwa sistem pajak penjualan
yang berlaku dewasa ini sudah tidak sesuai lagi sebagai sarana yang dapat
menunjang kebutuhan tersebut di atas;
- bahwa oleh karena itu dipandang
perlu untuk mengatur kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah
dengan undang-undang;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal
20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara Republik Indonesia;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan Tahun 1984(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263);
Dengan
persetujuan :
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Dengan mencabut :
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953
tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan
Pajak Penjualan (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94) sebagai Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 85,Tambahan Lembaran Negara Nomor 489)
sebagaimana beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Pajak Penjualan
1951 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2847).
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASADAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang
dimaksud dengan :
- Daerah Pabean adalah wilayah
Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan
Pabean;
- Barang adalah barang berwujud
yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun
barang tidak bergerak;
- Barang Kena Pajak adalah barang
sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai hasil proses pengolahan
(pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini;
- Penyerahan Barang Kena Pajak :
1)
|
Yang
termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
|
|
a)
|
penyerahan
hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|
b)
|
pengalihan
Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian
leasing;
|
|
c)
|
pengalihan
hasil produksi dalam keadaan bergerak;
|
|
d)
|
penyerahan
Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
|
e)
|
pemakaian
sendiri dan pemberian cuma-cuma;
|
|
f)
|
persediaan
Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
|
|
2)
|
Yang
tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
|
|
a)
|
penyerahan
Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang;
|
|
b)
|
penyerahan
Barang Kena Pajak untuk jaminan hutang-piutang;
|
|
c)
|
pemindahtanganan
sebagian atau seluruh perusahaan.
|
- Jasa adalah semua kegiatan
usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk
dipakai;
- Jasa Kena Pajak adalah jasa
sebagaimana dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang ini;
- Penyerahan Jasa Kena Pajak
adalah kegiatan melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena Pajak
yang dilakukan untuk kepentingan sendiri;
- Impor adalah semua kegiatan
memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean;
- Ekspor adalah semua kegiatan
mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean;
- Perdagangan adalah kegiatan
usaha membeli dan menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;
- Pengusaha adalah orang atau
badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, atau melakukan usaha jasa;
- Pengusaha Kena Pajak adalah
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang ini. Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak
adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri Keuangan;
- Menghasilkan adalah kegiatan
mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari
bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk
membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membotolkan, dan menambang
atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan itu.Yang tidak
termasuk dalam pengertian Menghasilkan ialah :
1)
|
menanam
atau memetik hasil pertanian atau memelihara hewan;
|
2)
|
menangkap
atau memelihara ikan;
|
3)
|
mengeringkan
atau menggarami makanan;
|
4)
|
membungkus
atau mengepak yang lazimnya terjadi dalam usaha perdagangan besar atau eceran;
|
5)
|
menyediakan
makanan dan minuman di restoran, rumah penginapan, atau yang dilaksanakan
oleh usaha katering.
|
- Dasar Pengenaan Pajak adalah
jumlah Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta
oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terhutang;
- Harga Jual adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini, potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak, dan harga Barang yang dikembalikan;
- Penggantian adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak;
- Nilai Impor adalah nilai berupa
uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya
yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini;
- Pembeli adalah orang atau badan
yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak;
- Penerima Jasa adalah orang atau
badan yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak;
- Faktur Pajak adalah bukti
pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak atau pada saat Impor Barang Kena Pajak;
- Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu
pembelian Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang
Kena Pajak;
- Pajak Keluaran adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Masa Pajak adalah jangka waktu
yang lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
Pasal
2
(1)
|
Dalam
hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka
Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
|
(2)
|
Hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila :
|
|
BAB
II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 3
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 3
(1)
|
Pengusaha
yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan d dikenakan pajak,
wajib melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak di tempat
Pengusaha itu bertempat tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah.
|
(2)
|
Orang
atau badan yang mengekspor barang dan/atau menyerahkan Barang Kena Pajak di
Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak, dapat memilih untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak di tempat orang atau badan itu bertempat tinggal
atau berkedudukan.
|
(3)
|
Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan.
|
(4)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), wajib menyetor pajak yang terhutang dengan sanksi berupa denda
administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
BAB
III
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN
Pasal 4
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN
Pasal 4
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas :
|
|||||||||
|
||||||||||
(2)
|
Dengan
Peraturan Pemerintah :
|
|||||||||
|
Pasal
5
(1)
|
Disamping
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak
Penjualan atas Barang Mewah terhadap :
|
|
|
(2)
|
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan
oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.
|
Pasal
6
(1)
|
Setiap
Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan dan
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
|
(2)
|
Pada
catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan jelas,
jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa yang terhutang pajak,
yang tidak terhutang pajak, yang dikenakan tarif 0% (nol persen), dan yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
(3)
|
Pengusaha
yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak
dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat catatan nilai peredaran bruto secara
teratur, yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai itu.
|
BAB
IV
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 7
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 7
(1)
|
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh persen).
|
(2)
|
Atas
ekspor Barang dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
(3)
|
Dengan
Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat
diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15%
(lima belas persen).
|
Pasal
8
(1)
|
Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua
puluh persen).
|
(2)
|
Atas
ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
(3)
|
Dengan
Peraturan Pemerintah tarif pajak sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat
diubah menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
|
(4)
|
Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
(5)
|
Macam
dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut
ayat (4) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal
9
(1)
|
Pajak
Pertambahan Nilai yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan
mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
Pajak.
|
(2)
|
Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
masa yang sama.
|
(3)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
maka selisihnya merupakan pajak yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
(4)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan dengan
pajak terhutang dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat dikembalikan.
|
(5)
|
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan
kena pajak juga melakukan penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian
penyerahan kena pajak itu dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam
pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya sebesar
Pajak Masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang
Kena Pajak yang diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai
untuk menghasilkan Barang Kena Pajak.
|
(6)
|
Dalam
hal bagian penyerahan kena pajak maupun bagian penyerahan tidak kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diketahui dengan pasti,
Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu pedoman penghitungan jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian penyerahan kena pajak.
|
(7)
|
Pengusaha
yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak
dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan
Nilai, dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar terhadap Pajak
Keluaran yang harus dipungut, dengan mempergunakan pedoman penghitungan
kredit Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Pajak
Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur dalam ayat (2) bagi
pengeluaran untuk :
|
|
Pasal
10
(1)
|
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung
dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 8, dengan Dasar
Pengenaan Pajak.
|
(2)
|
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau
Impor Barang Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7.
|
(3)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang mengekspor Barang Mewah dapat meminta kembali pajak yang
dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah yang diekspor itu.
|
BAB
V
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal
11
(1)
|
Pajak
yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
|
(2)
|
Dalam
hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, maka pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat
pembayaran.
|
Pasal
12
(1)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, terhutang
pajak di tempat tinggal atau kedudukan mereka dan/atau di tempat usaha
dilakukan.
|
(2)
|
Atas
permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu
tempat usaha, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan salah satu tempat
usaha sebagai tempat pajak terhutang.
|
(3)
|
Dalam
hal Impor, pajak terhutang di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan
dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
Pasal
13
(1)
|
Setiap
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
(2)
|
Apabila
pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
|
(3)
|
Menyimpang
dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa
Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang
bersangkutan.
|
(4)
|
Pengusaha
yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat
Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha
Kena Pajak.
|
(5)
|
Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
|
(6)
|
Dalam
Faktur Pajak harus dicantumkan catatan tentang penyerahan yang dikenakan
pajak menurut undang-undang ini yang meliputi :
|
|
|
(7)
|
Bentuk,
ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur lebih
lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
(8)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak
menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6)
dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
|
Pasal
14
(1)
|
Orang
atau Badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang
membuat Faktur Pajak.
|
(2)
|
Dalam
hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang atau badan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur
Pajak kepada Kas Negara dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
Pasal
15
(1)
|
Pengusaha
Kena Pajak wajib melaporkan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 20
(dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa.
|
(2)
|
Keterangan
dan dokumen yang harus dicantumkan dan/atau dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Surat
Pemberitahuan Masa dianggap tidak dimasukkan jika Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan, atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur
dalam ayat (1) dan ayat (2).
|
Pasal
16
(1)
|
Atas
permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak, kelebihan pembayaran pajak yang
belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4),
pengembaliannya dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atau dalam
jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Kelebihan
pembayaran pajak atas Barang yang diekspor dikembalikan dalam jangka waktu
satu bulan.
|
BAB
VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
Hal-hal yang menyangkut pengertian,
tata cara pemungutan sanksi administrasi dan sanksi pidana berkenaan dengan
pelaksanaan undang-undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang
ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB
VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
(1)
|
Dengan
berlakunya undang-undang ini :
|
|
|
(2)
|
Ketentuan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan.
|
BAB
VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Hal-hal yang belum diatur dalam
undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
20
Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Pasal
21
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 1984.
Agar supaya setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
Pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta,
Pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,
Pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 51
PENJELASAN
ATAS
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1983
NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG
PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
UMUM
Pembangunan nasional yang
berlandaskan Garis-garis Besar Haluan Negara, yang telah dan akan terus
dilaksanakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan tidak saja keadaan kehidupan
ekonomi dan sosial yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga
menimbulkan dorongan dan tuntutan untuk mengadakan modernisasi di segala bidang
kehidupan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional tersebut di atas diperlukan investasi dalam jumlah besar, yang
pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri. Oleh karena itu sudah
waktunya diletakkan suatu landasan yang dapat lebih menjamin tersedianya dana
itu dari sumber-sumber di dalam negeri sebagai pencerminan kegotong-royongan
nasional dalam usaha melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber luar
negeri, sehingga bantuan luar negeri hanya merupakan pelengkap yang makin lama
makin kecil peranannya.
Disamping itu diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber pada
tabungan masyarakat, tabungan Pemerintah, serta penerimaan devisa yang berasal
dari ekspor, sehingga pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan
nasional.
Sistem perpajakan yang berlaku
dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung
kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara
lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan
pembebanan pajak.
Dalam rangka itulah dengan dilandasi
pertimbangan yang seksama tentang kemampuan rakyat, rasa keadilan dan kebutuhan
pembangunan serta untuk mendorong dan meningkatkan daya saing komoditi ekspor
non minyak di pasaran luar negeri, dengan dukungan kondisi dan kemampuan aparat
perpajakan yang terus berkembang, pajak penjualan dengan sistem pengenaan pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah ini diberlakukan untuk
menggantikan pajak penjualan yang sekarang berlaku.
Dengan mengingat pada sistemnya,
undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk memperlihatkan bahwa dua
macam pajak yang diatur disini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas
konsumsi di dalam negeri.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu
impor. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata
rantai jalur perusahaan. Kendatipun dipungut beberapa kali, tetapi karena
pengenaannya hanya terhadap pertambahan nilai yang timbul pada setiap
penyerahan barang atau jasa pada jalur perusahaan berikutnya, maka beban pajak
ini pada akhirnya tidaklah lebih berat.
Pertambahan nilai itu sendiri timbul
karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam
menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau
pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan
mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba
pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai. Tarif yang berlaku atas Penyerahan Barang dan Jasa
Kena Pajak dibuat lebih sederhana dengan menerapkan tarif seragam, artinya,
satu macam tarif untuk semua jenis Barang Kena Pajak.
Dengan demikian pelaksanaannya
menjadi lebih mudah, tidak memerlukan daftar penggolongan barang dengan tarif
yang berbeda. Atas barang mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga
dikenakan Pajak Penjualan sebagai suatu upaya nyata untuk menegakkan keadilan
dalam pembebanan pajak yang sekaligus pula merupakan upaya untuk mengurangi
pola konsumsi tinggi yang tidak produktif dalam masyarakat. Sebaliknya atas
semua barang yang merupakan hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan dan hasil agraria lainnya yang tidak diproses, bukan merupakan
sasaran pengenaan pajak.
Selanjutnya atas ekspor barang
dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen) atau dengan kata lain, dibebaskan
dari pajak, bahkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah termasuk dalam harga
barang yang diekspor, dapat dikembalikan. Pembebasan dan pengembalian pajak
yang telah dibayar atas barang yang diekspor ini adalah sesuai dengan prinsip
pengenaan pajak atas konsumsi (pemakaian umum) barang dan jasa di dalam negeri
atau di dalam Daerah Pabean. Karenanya atas barang yang tidak dikonsumsi di
dalam negeri (diekspor), tidak dikenakan pajak. Dasar pertimbangan lain adalah
agar dalam harga barang yang diekspor itu tidak termasuk beban pajak sehingga
dengan demikian membantu menekan harga pokok barang ekspor dan meningkatkan
daya saingnya di pasaran internasional. Sebaliknya atas impor barang dikenakan
pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri.
Semua orang atau badan yang
menghasilkan, mengimpor, memperdagangkan barang atau memberikan jasa dapat
dikenakan pajak. Namun demikian undang-undang memberikan pengaturan untuk
mengenakan pajak atas penyerahan barang oleh pengusaha yang menjadi agen atau
penyalur dan/atau pedagang eceran serta jasa-jasa tertentu bila berdasarkan
pertimbangan kepentingan pembangunan nasional, kesiapan pelaksanaannya telah
dicapai.
Pengusaha kecil yang menghasilkan
dan menjual barang atau memberikan jasa dibebaskan dari pengenaan pajak. Jadi
hanya pengusaha yang menghasilkan (pabrikan) dan memperdagangkan barang yang
tergolong besar saja yang dikenakan pajak. Dengan demikian dalam undang-undang
ini telah diatur secara tegas dan jelas tentang Pengusaha, Barang, Jasa dan
Penyerahan Barang atau Penyerahan Jasa yang dikenakan pajak.
Atas Penyerahan Barang atau Jasa
wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi Penyerahan Barang yang
terhutang pajak. Faktur Pajak ini merupakan ciri khas dari Pajak Pertambahan
Nilai, karena Faktur Pajak ini merupakan bukti pungutan yang bagi Pengusaha
yang dipungut dapat diperhitungkan (dikreditkan) dengan jumlah pajak yang
terhutang.
Kebijaksanaan khusus mengenai pajak
yang dapat dikreditkan diberlakukan terhadap Pengusaha yang disamping
menyerahkan Barang kepada Pengusaha Kena Pajak juga menyerahkan Barang kepada
orang atau badan lainnya yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
serta terhadap Pengusaha yang dikenakan pajak dengan pedoman norma penghitungan
Pajak Masukan atas Penyerahan Barang. Dengan demikian efek berganda dari
pungutan pajak dapat dihilangkan karena Pengusaha hanya diharuskan membayar
selisih antara pajak yang harus dipungut dan jumlah pajak yang telah
dibayarnya. Efek berganda hanya terjadi pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dan hal ini dilakukan secara sadar untuk menegakkan prinsip keadilan dalam
pembebanan pajak.
Disamping itu undang-undang ini
mengandung unsur mendidik dan membina kesadaran serta tanggung jawab Pengusaha
dengan memberikan kepercayaan untuk memungut dan menyetorkan sendiri pajak yang
terhutang kepada negara. Dalam rangka ini pulalah hendaknya dilihat ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan seperti pemeriksaan, ketetapan pajak, ketetapan
pajak tambahan, sanksi administrasi dan pidana, serta perlindungan terhadap
hak-hak pengusaha dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan dan
banding kepada Badan Peradilan Pajak yang dewasa ini disebut Majelis
Pertimbangan Pajak yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Dalam kaitan inilah Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus dilihat sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Undang-undang tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini,
karena Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat
ketentuan tentang prosedur atau tata cara pelaksanaan dan sanksi perpajakan
sebagai pelengkap ketentuan-ketentuan material yang dimuat dalam Undang-undang
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Huruf a
Wilayah
Republik Indonesia yang tidak termasuk Daerah Pabean adalah pelabuhan bebas,
bonded area, dan daerah lain yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Huruf b
Barang
yang dimaksud di sini adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak yang
berwujud sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Huruf c
Barang
yang kena pajak adalah Barang sebagai hasil pabrikasi, Barang yang bukan
berasal dari hasil pabrikasi, misalnya barang hasil pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan, perikanan, dan hasil agraria lainnya yang tidak diolah
lebih lanjut, tidak termasuk dalam pengertian Barang Kena Pajak.
Huruf d
1)
|
Yang
termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak :
|
|
a)
|
perjanjian
yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi jual beli, tukar-menukar, jual
beli dengan angsuran atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak
atas Barang;
|
|
b)
|
selain
dengan cara dimaksud pada huruf a) di atas, Penyerahan Barang juga dapat
terjadi melalui perjanjian sewa beli dan leasing. Penyerahan Barang dianggap
telah terjadi pada saat barang dipindahkan penguasaannya dari penjual atau
lessor kepada pembeli atau lessee, meskipun pembayaran dalam bentuk angsuran
sewa-beli dilakukan secara bertahap;
|
|
c)
|
pengalihan
Barang dalam keadaan bergerak yaitu perpindahan Barang karena suatu pesanan
atau permintaan untuk menghasilkan Barang dengan bahan dan atas petunjuk dari
si pemesan;
|
|
d)
|
yang
dimaksud dengan pedagang perantara ialah orang atau badan yang dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan
perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan
mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud
dengan juru lelang di sini adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk
oleh Pemerintah.
|
|
e)
|
pemakaian
sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, pengurus,
atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian
yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk
promosi kepada relasi atau pembeli.
|
|
f)
|
persediaan
Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
disamakan dengan pemakaian sendiri, oleh karena itu dianggap sebagai
penyerahan barang yang dikenakan pajak.
|
|
2)
|
Yang
tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
tersebut dalam angka 2 sebagai berikut :
|
|
a)
|
cukup
jelas;
|
|
b)
|
cukup
jelas;
|
|
c)
|
yang
dimaksud dengan perusahaan atau bagian-bagiannya adalah aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk dijual.
|
Huruf e
Semua
kegiatan pelayanan dan pekerjaan jasa, antara lain jasa angkutan, borongan,
persewaan barang bergerak, persewaan barang tidak bergerak, hiburan, biro
perjalanan, perhotelan, jasa notaris, pengacara, akuntan, konsultan, kantor
administrasi, dan komisioner, termasuk dalam pengertian Jasa.
Huruf f
Jasa Kena Pajak diartikan sebagai
Jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d dan ayat (2)
huruf b.
Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf d dan ayat (2) huruf b.
Huruf h
Kegiatan memasukkan barang dari
pelabuhan bebas atau bonded area ke Daerah Pabean termasuk pula dalam
pengertian Impor.
Huruf I
Kegiatan mengeluarkan barang dari
Daerah Pabean ke pelabuhan bebas atau bonded area termasuk pula dalam
pengertian Ekspor.
Huruf j
Dalam pengertian Perdagangan
termasuk kegiatan tukar-menukar barang.
Huruf k
Pengusaha
dapat berbentuk usaha perorangan atau badan yang terdiri dari Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perseroan, atau Perkumpulan Lainnya,
Firma, Kongsi, Perkumpulan Koperasi, Yayasan atau Lembaga, dan Bentuk Usaha
Tetap.
Orang atau badan tersebut melakukan
kegiatan :
1)
|
menghasilkan
Barang seperti dimaksud dalam huruf m. Pengusahanya disebut Pabrikan atau
Produsen;
|
2)
|
usaha
Jasa. Pengusahanya disebut Pengusaha Jasa;
|
3)
|
usaha
Perdagangan. Pengusahanya disebut Pedagang;
|
4)
|
impor.
Pengusahanya disebut Importir.
|
Untuk
menjaga kemungkinan penafsiran yang sangat luas, maka pengertian Pengusaha
dibatasi pada orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut di atas dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Bila unsur ini tidak dipenuhi maka
orang atau badan dimaksud tidak merupakan Pengusaha.
Huruf l
Pengertian
"dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini" adalah dikenakan
pajak berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5. Pada dasarnya semua Pengusaha Kena Pajak
dikenakan pajak, akan tetapi undang-undang ini memberikan pengecualian terhadap
Pengusaha Kena Pajak yang tergolong sebagai pengusaha kecil meskipun melakukan
Penyerahan Barang Kena Pajak. Pembebasan ini bertujuan untuk mendorong
pengembangan pengusaha kecil.
Huruf m
Perubahan bentuk atau sifat Barang
terjadi karena adanya atau dilakukannya suatu proses pengolahan yang
menggunakan satu faktor produksi atau lebih, termasuk kegiatan :
- merakit : menggabungkan
bagian-bagian lepas dari suatu Barang menjadi barang setengah jadi atau
barang jadi seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah
tangga, dan sebagainya;
- memasak : mengolah Barang
dengan cara memanaskan. Pengertian memanaskan termasuk merebus, membakar,
mengasap, memanggang, dan menggoreng, baik dicampur dengan bahan lain atau
tidak;
- mencampur : mempersatukan dua
atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih Barang lain;
- mengemas : menempatkan suatu
Barang kedalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan/atau
untuk meningkatkan kekuatan pemasarannya;
- membotolkan : memasukkan
minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
- menambang : mengambil hasil
sumber kekayaan alam dari permukaan atau dari dalam tanah, baik di darat
maupun di laut, dan kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan
itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Ketentuan ini mengatur pula kegiatan
tertentu yang hasilnya tidak dikenakan pajak menurut undang-undang ini seperti
tersebut pada angka 1) sampai dengan angka 5) yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
- angka 1) dan 2) adalah kegiatan
di bidang usaha yang bersifat agraris (pertanian, perkebunan dan
kehutanan, peternakan dan perikanan) yang hasilnya diperoleh melalui
proses pertumbuhan dan populasi (bukan pabrikasi) serta banyak dipengaruhi
oleh faktor alam;
- angka 3) adalah kegiatan
melalui proses mengeringkan dan menggarami makanan dari barang yang
dihasilkan bidang usaha tersebut pada angka 1) dan 2) dengan cara
sederhana, misalnya mengeringkan atau menggarami ikan menjadi ikan asin;
- angka 4) adalah kegiatan
membungkus atau mengepak Barang sebagai kegiatan pelayanan lebih lanjut
dari suatu kegiatan penjualan Barang yang dilakukan oleh pedagang besar
atau pengecer, yang berbeda dengan pengertian mengemas;
- angka 5) cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Semua
biaya seperti biaya pemasangan, asuransi, biaya bantuan teknik, biaya
pemeliharaan, biaya pengiriman, komisi, biaya garansi, bunga, dan biaya lain
sepanjang berkaitan dengan penyerahan Barang, merupakan unsur Harga Jual yang
dikenakan pajak. Yang dapat dikurangkan dari Harga Jual adalah :
(1)
|
potongan
harga seperti potongan tunai atau rabat, sepanjang masih dalam batas adat
kebiasaan pedagang yang baik, dapat dikurangkan dari Harga Jual asalkan
tercantum dalam Faktur Pajak. Tidak termasuk dalam pengertian potongan harga
adalah bonus, komisi, premi, atau balas jasa lainnya yang diberikan dalam
rangka menjualkan Barang;
|
(2)
|
Barang
yang dikembalikan karena rusak, perbedaan mutu, jenis atau tipe, dan Barang
yang hilang dalam perjalanan.
|
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Nilai
Impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah Harga Patokan Impor (HPI) atau
Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah
dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan Pabean.
Huruf r
Pengertian Pembeli dalam
undang-undang ini lebih luas dari pengertian pembeli pada umumnya, karena di
dalamnya termasuk orang atau badan yang menerima atau dianggap menerima
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Pembeli, Penerima Jasa atau Importir
wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan menerima bukti pungutan pajak pada
saat menerima Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat
Impor Barang Kena Pajak. Pajak yang dibayar inilah yang dinamakan Pajak
Masukan.
Huruf v
Pengusaha Kena Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib memungut Pajak
Pertambahan Nilai. Pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak inilah yang
dinamakan Pajak Keluaran.
Huruf w
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi Pengusaha Kena Pajak bahwa
pajak terhutang atas seluruh penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang dilakukan selama satu bulan takwim. Namun demikian, Menteri Keuangan
diberi wewenang untuk menentukan Masa Pajak lain dari satu bulan takwim guna
memudahkan instansi lain yang membantu pemungutan pajak, misalnya dalam hal
Impor.
Pasal 2
Ayat (1)
Pengaruh
hubungan istimewa seperti yang dimaksud dalam undang-undang ini ialah adanya
kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini
Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual
atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar
yang berlaku di pasaran bebas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pemilikan dalam
ayat ini, menyangkut bidang permodalan, sedangkan penguasaan berhubungan dengan
bidang manajemen, termasuk hubungan kekeluargaan antara para pihak yang
bersangkutan.
Kata
langsung di sini diartikan bahwa seluruh atau sebagian modal atau manajemen
dari dua perusahaan atau lebih yang terlibat dalam Penyerahan Barang (penjual
dan pembeli) dimiliki dan dilaksanakan oleh Pengusaha yang sama atau di bawah
penguasaan Pengusaha yang sama. Kata tidak langsung diartikan bila pemilikan
dan penguasaan itu diperoleh karena adanya hubungan keluarga antara Pengusaha
dengan pemilik modal atau pelaksana manajemen dari perusahaan-perusahaan
tersebut, misalnya bila seluruh atau sebagian modal atau manajemen berada di
tangan isteri, anak, atau keluarga lainnya dari Pengusaha;
Huruf b
Penyertaan
modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari modal saham atau modal
ditempatkan atau modal disetor. Bila salah satu hasil hitungan itu menunjukkan
penyertaan modal berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, maka
dianggap telah ada hubungan istimewa.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Orang
atau badan yang mengekspor Barang dan/atau yang menyerahkan Barang di Daerah
Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak tidak wajib melaporkan usahanya. Akan tetapi
bila berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya untuk dapat mengkreditkan atau
meminta kembali Pajak Masukan, orang atau badan tersebut dapat memilih atau
meminta untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (3)
Surat
Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak
merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terhutangnya pajak, tetapi hanya
merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi aparatur perpajakan, sebab
saat pajak terhutang ditentukan oleh adanya obyek yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Bila
Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan usahanya, maka ia dianggap telah
melanggar kewajibannya dengan iktikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan
yang telah diberikan kepadanya.
Karena
itu sudah sewajarnya atas pelanggaran tersebut selain harus menyetor pajak yang
terhutang, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi berupa denda administrasi
sebesar 2% (dua persen) dari seluruh Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum
Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Penyerahan Barang yang terhutang
pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Barang yang diserahkan adalah
Barang Kena Pajak;
- tindakan penyerahan adalah
penyerahan kena pajak;
- penyerahan dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak;
- penyerahan dilakukan dalam
Daerah Pabean Republik Indonesia, termasuk penyerahan untuk Ekspor,
meskipun atas Ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen);
- penyerahan dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak,
artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Penyerahan
Barang yang dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perusahaan atau
pekerjaannya, misalnya pengoperan aktiva yang tidak dimaksudkan untuk dijual,
tidak terhutang pajak. Golongan Pengusaha Kena Pajak yang terhutang pajak
adalah sebagai berikut :
1)
|
Pengusaha
Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak. Golongan pengusaha ini
disebut Pabrikan atau Produsen. Atas penyerahan Barang Kena Pajak hasil
produksi Pabrikan itu kepada pihak mana pun terhutang pajak;
|
2)
|
Pengusaha
yang mengimpor Barang Kena Pajak. Atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Importir kepada pihak mana pun terhutang pajak;
|
3)
|
Pengusaha
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan/atau dengan Importir.
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Pabrikan atau Importir kepada pihak mana pun terhutang pajak;
|
4)
|
Agen
dan penyalur utama dari Pabrikan dan Importir. Ditetapkannya agen dan
penyalur utama dari Pabrikan dan Importir sebagai Pengusaha Kena Pajak
berdasarkan pertimbangan adanya hubungan khusus diantara mereka yang
berpengaruh atas sistem perdagangan dan pemasaran barang. Pabrikan atau
Importir adalah pihak yang menyuruh, atau meminta atau memberikan hak kepada
penyalur atau agen utama untuk memasarkan Barang hasil produksinya atau
Barang yang di impornya berdasarkan jenis Barang dan/atau wilayah pemasaran
tertentu menurut perjanjian yang disetujui bersama.
Atas
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh agen atau penyalur utama kepada pihak mana
pun terhutang pajak;
|
5)
|
Pengusaha
yang menjadi pemegang atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang
dari Barang Kena Pajak.
Ditetapkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, oleh karena Pengusaha tersebut telah mempunyai
hak dan kekuasaan untuk menghasilkan, memasarkan atau menyuruh orang lain
melakukan kegiatan itu menurut perjanjian yang disetujui bersama.
Atas Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha tersebut kepada pihak manapun terhutang pajak; |
Huruf b
Pengusaha
yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak hanya terhutang
pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan kepada Pabrikan atau
Pengusaha Kena Pajak lainnya;
Huruf c
Pajak juga dipungut pada saat Impor
Barang. Pemungutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan Penyerahan Barang
Kena Pajak tersebut pada huruf a dan b, maka siapa pun yang memasukkan Barang
Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak;
Huruf d
Pada
dasarnya semua Jasa dapat dikenakan pajak. Meskipun demikian Jasa di bidang
pendidikan, sosial, agama, dan kesehatan yang diselenggarakan untuk kepentingan
umum dan tidak semata-mata mencari laba, tidak dimaksudkan untuk dikenakan pajak
dalam rangka melindungi kepentingan umum.
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan pertimbangan
perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan,
Pemerintah diberi wewenang untuk memperluas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
atas Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pedagang besar, agen atau penyalur, dan
pedagang eceran besar umpamanya super market;
Huruf b
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikenakan disamping Pajak Pertambahan Nilai,
artinya penyerahan atau Impor Barang Mewah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
dan sebagai tambahannya juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tidak dikenakan terhadap semua penyerahan Barang
Mewah melainkan hanya atas penyerahan yang dilakukan oleh :
- Pabrikan atau Produsen Barang
Mewah;
- Siapa pun yang mengimpor Barang
Mewah tanpa memperhatikan apakah Impor tersebut dilakukan terus menerus
atau dilakukan hanya sekali-sekali saja.
Ayat (2)
Pengertian
umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai, dan tidak
dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang. Dengan demikian prinsip pemungutannya
hanya satu kali saja, yaitu pada waktu :
- penyerahan oleh Pabrikan atau
Produsen Barang Mewah, atau
- Impor Barang Mewah;
Penyerahan pada tingkat berikutnya
tidak lagi dikenakan pajak.
Pasal 6
Ayat (1)
Terselenggaranya
pencatatan semua jumlah harga perolehan dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan
Jasa Kena Pajak serta segala hal ihwal yang berhubungan dengannya, merupakan
pencerminan teraturnya pembukuan sehingga Dasar Pengenaan Pajak dapat
ditentukan dengan mudah dan benar.
Ayat (2)
Hal-hal yang diwajibkan untuk
dicatat ditentukan pada ayat ini, antara lain :
- jumlah harga perolehan atau
Nilai impor;
- jumlah Harga Jual atau Nilai
Penggantian;
- jumlah Harga Jual dari bukan
Barang Kena Pajak (hasil agraria, perikanan, kehutanan, dan sebagainya);
- jumlah Nilai Ekspor;
- jumlah Harga Jual yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Ayat (3)
Yang
harus dicatat oleh Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Tentang Pajak
Penghasilan dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, hanyalah nilai
peredaran bruto setiap bulan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 7
Ayat (1)
Secara
umum tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah 10% (sepuluh persen).
Pada saat berlakunya undang-undang ini pengenaan pajak masih pada tingkat
Penyerahan Barang oleh Pabrikan atau Importir, sehingga tarif efektif yang
menjadi beban konsumen tidak akan mencapai 10% (sepuluh persen) dari harga
eceran, sebab Pertambahan Nilai yang terjadi dalam sektor perdagangan belum
dikenakan pajak ini.
Ayat (2)
Pajak
Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang di dalam
negeri, maka Barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karenanya Barang yang diekspor
dikenakan tarif 0% (nol persen).
Dengan
tarif 0% (nol persen) ini Pajak Masukan yang telah dibayar Eksportir pada waktu
Perolehan Barang yang diekspor tersebut dapat diminta pengembaliannya. Dengan
demikian dalam harga barang yang diekspor tersebut tidak ada lagi unsur Pajak
Pertambahan Nilai.
Ayat (3)
Berdasarkan
pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk
pembangunan, Pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi
serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas
persen). Perubahan tarif ini tidak boleh meninggalkan prinsip tarif tunggal,
artinya harus diberlakukan tarif yang sama untuk semua Penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdiri dari dua macam, yaitu 10% (sepuluh
persen) dan 20% (dua puluh persen).Pajak Penjualan tersebut dikenakan sebagai
tambahan dari Pajak Pertambahan Nilai, dan bukan sebagai pengganti dari pajak
tersebut. Oleh karena itu Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipungut
bersama-sama dengan Pajak Pertambahan Nilai. Perbedaan tarif 10% (sepuluh
persen) dan 20% (dua puluh persen) diberlakukan berdasarkan kenyataan adanya
perbedaan pada tingkat kemewahan dari Barang-barang yang bersangkutan.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2).
Ayat (3)
Berdasarkan
pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana pembangunan,
pemerataan beban pajak, dan pengendalian pola konsumsi mewah, Pemerintah diberi
wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh
lima persen).
Ayat (4)
Pemerintah diberi wewenang untuk
menetapkan kelompok barang-barang tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dengan Tarif 10% (sepuluh persen) atau 20% (dua puluh persen).
Ayat (5)
Macam
dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
pengelompokkannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan
pada ayat (4), akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cara
menghitung pajak yang terhutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga Jual,
Penggantian atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terhutang ini merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Pajak
Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan atau
Impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran yang dipungut Pengusaha Kena Pajak pada waktu menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran tersebut di atas dilakukan dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (3)
Selisih
yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke Kas Negara menurut ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan.
Ayat (4)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini
adalah hak Pengusaha Kena Pajak yang dapat dikompensasikan atau diminta
kembali.
Ayat (5)
Pengusaha
Kena Pajak dalam satu Masa Pajak dapat melakukan 2 (dua) macam penyerahan,
yaitu penyerahan kena pajak dan penyerahan tidak kena pajak. Dalam hal
demikian, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan kena pajak, yang harus dapat diketahui dengan pasti
dari catatan dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (6)
Dalam
hal pencatatan Pajak Masukan di dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pedoman tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena
Pajak.
Ayat (7)
Bagi
Pengusaha Kena Pajak dimaksud dalam ayat ini, cara pengkreditan Pajak Masukan
terhadap Pajak Keluaran, ditentukan dengan suatu pedoman penghitungan kredit
Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pedoman ini selain
diperlukan karena golongan Pengusaha Kena Pajak ini hanya diwajibkan membuat
catatan peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), juga
dimaksudkan untuk membantu golongan Pengusaha Kena Pajak tersebut, agar dapat
mengkreditkan Pajak Masukannya meskipun golongan Pengusaha Kena Pajak ini tidak
mempunyai bukti pungutan Pajak Masukan.
Ayat (8)
Pajak
Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi
khusus untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan.
Huruf a
Pajak Masukan hanya dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan menurut ketentuan
dalam Pasal 3;
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar